Kehidupan urban bergerak dengan cepat dalam satuan waktu, namun kemudian juga bergerak sangat lambat secara fisik di atas hamparan lalu-lintas oleh kendaraan yang mengisi relung-relung jalanan. Cih. Menambah panas dan pengap sebuah kota.
Aku berada di kepenatan itu, siang itu, hari itu. Di atas motorku yang ikut memenuhi kota. Mengotori pikiran dengan emosi jalanan, emosi yang semakin wajar menurut manusia zaman sekarang. Di sanalah aku, di kota kelahiranku, berpanas-panas, berpengap-pengap. Fuh.
Di tengah jalan, kuputuskan untuk mengambil rute yang berbeda. Aku akan memenuhi panggilan gaibku, menuju sebuah tanah masa kecilku, sebuah lingkungan tempat dulu aku dibesarkan. Menjadi salah satu dari tiga bocah ingusan nakal yang menguasai peradaban anak-anak. Menjadi role model pergaulan bocah-bocah lain yang lebih muda saat itu. Di sebagian belahan kawasan Buah Batu, yang dulu dinamai Komplek Geologi, yang orang-orang tuanya pernah bertemu dengan kawanan Belanda dulu.
Aku rindu tanah itu. Kubelokkan motorku menuju ke sana. Dengan kecepatan yang sangat lambat kulajukan motorku, membuka memori-memori lama yang sangat banyak. Tapi tidak semua bisa kuceritakan, maka sebagian saja, ya.
Berikut adalah masterplan dari Komplek Geologi, Buah Batu, Bandung :
Biarkan kubahas berdasarkan legenda atau keterangan yang tertera di dalam gambar.
1. RUMAHKU
Adalah rumah tempat dulu aku tinggal di daerah ini. Yang juga ternyata merupakan rumah kakek-nenekku waktu itu. Rumah dua lantai yang khas sekali penghuni di dalamnya, dulu pernah merasakan, katanya dijajah oleh Belanda. Di rumah berwarna putih ini, kadang aku berpura-pura sudah shalat ashar, agar bisa bermain keluar rumah.
2. RUMAH ECA
Reza. Eca adalah nama panggilannya. Dialah salah dua dari tiga orang bocah berandal di komplek kami, kawan mainku dulu. Sebenarnya itu bukan rumah Eca, itu rumah kakek-neneknya. Semua rumah di komplek itu adalah rumah milik kakek-nenek setiap anak yang ada di dalam rumah tersebut bila ada anak kecilnya.
Eca, satu tahun lebih muda dariku. Saat berkawan denganku, Eca sudah disunat, sama sepertiku. Eca, adalah kawanku yang mengajari aku cara pipis putus-putus, di selokan.
4. RUMAH LUTFI
Lutfi. Lutfi adalah nama panggilannya. Dialah salah tiga dari tiga orang bocah berandal yang bersalah dari komplek ini. Seperti penjelasan sebelumnya, Lutfi adalah anak kecil, maka berarti itu bukan rumah Lutfi. Itu adalah rumah kakek-neneknya Lutfi. Lutfi, satu tahun lebih muda dari Eca. Dan, ya, aku yang paling tua dari kami bertiga, paling kolot. Kau puas?
Aku dan Eca sangat mencintai rumah Lutfi. Karena di dalamnya ada Playstation 2 yang kami tidak punya. Kami cinta segalah hal tentang rumahnya, asalkan bisa bermain PS2. Kalau sedang dilarang, kami akan patungan ke rental PS, alhamdulillah.
Lutfi belum disunat. Dulu itu. Akhirnya dia disunat entah kapan, tapi dia jadi disunat karena sebuah kecelakaan saat kami bertiga bermain sepeda BMX penuh gaya dan skill, namun minim. Lutfi gagal meloncati sebuah selokan saat melakukan trik, dan 'anunya' jadi terbentur keras dengan stang sepeda. Aku tertawa. Eca tertawa. Lutfi menangis. Anunya ternyata berdarah! Aku diam. Eca diam. Lutfi menangis. Kami panik dan membawanya pulang pada neneknya. Neneknya marah pada Lutfi. Lutfi menangis. Aku diam. Eca diam. Neneknya melempar isu akan menyunat Lutfi. Lutfi menangis makin keras. Aku dan Eca pulang.
3. LAPANGAN SEGITIGA
Entah nama sebenarnya apa, tapi begitulah kami menyebutnya. Lapangan ini adalah kerajaan kami, istana kebahagiaan, lapak segala permainan kami. Main bola, segala macam ucing-ucingan, petak umpet, bebentengan, perang-perangan, sepeda-sepedaan, bergelantungan di pohon, membuat kaki-kaki kami terluka, tangan terluka, baju dan celana kotor, buang air kecil sembarangan, dan lain-lain. Lapangan itu milik kami, kami rajanya, kami menguasainya.
Di lapangan ini, kami bertiga pertama bertemu dan saling mengenal. Aku yang awalnya adalah anak pindahan dari Sumatera, bertemu dua kawanku itu, dan diterima sebagai kawan mereka setelah menang balap lari. Balap lari, permainan pertama kami.
Lapangan dengan rumput yang hijau. Lapangan dengan pohon yang besar dan teduh. Dan di sanalah, ketika kemarin aku melewatinya, sebuah pohon dengan batang-batang favorit kami masih berdiri. Mudah-mudahan dia melihatku, dan masih mengenaliku yang mampir sejenak siang itu.
5. MASJID AT-TAQWA
Masjid ini ternyata sudah lebih bagus. Masjid ini bukan tempat kami mengaji, dulu tidak ada pengajian anak kecil di masjid ini, entah sekarang mah. Di mesjid ini, kami berulah saat jumatan, saat tarawehan, tapi tentunya main aman, jangan sampai para orang tua tahu kami berulah.
Di belakang masjid ini terdapat sebuah gang kecil yang menghubungkan dua jalan di sampingnya. Dulu, ketika bermain petak umpet di lapangan segitiga, gang ini menjadi batas terjauh untuk bersembunyi, dan kami patuh pada aturan kami tersebut.
Suatu hari, ketika kami sedang bermain di sekitar masjid tersebut, ada orang gila yang melintas. Entah siapa yang memulai, aku lupa. Salah satu dari kami menghina-hina orang gila tersebut, dan yang lainnya mengikuti. Apa yang terjadi? Gila. Orang gila tersebut mengejar kami. Kami berari pontang-panting ke dalam gang kecil di belakang masjid, berbelok-belok, dan alakazam! Untung kami masih berhasil lolos, dasar bocah-bocah dungu dan gila. Sebut saja gang itu, Jalur Gaza.
6. APA YA?
Nomor 6 ini, adalah sebuah jalan dengan aspal paling halus dibanding dengan jalan-jalan lainnya di komplek kami. Sebuah pilihan yang sangat baik dulu bagi kami untuk bermain sepatu roda, otopet, sepeda, jatuh main sepatu roda, jatuh main otopet, dan jatuh dari sepeda.
TANDA PANAH HITAM
Adalah sebuah arah petunjuk, bahwa ketika kami bermain ke arah sana, maka berarti kami sedang nakal-nakalnya, artinya kami akan berbuat dosa, bermaksiat, durhaka terhadap orang tua kami.
Ke arah sanalah kami menggelapkan uang jajan orang tua untuk bermain di rental PS.
Ke arah sanalah kami bermain sepeda teralu jauh, melanggar larangan orang tua.
Ke arah sanalah kami bertemu dengan seorang anak kecil lainnya yang selalu mengajak berantem, namanya Abay. Abay, mun maneh wani keneh, kadieu gelut jeung urang!
Dan.
Di daerah sekitar sanalah kami pernah merasakan kualat, akibat melanggar larangan dari orang tua. Contohnya aku, ketika jatuh dari sepeda hingga tulang tanganku bergeser karena bermain teralu jauh sampai ke kecamatan lain, aku takut lagi, aku kapok.
Demikianlah sedikit kisahnya.
Maka, sejauh apapun kita beranjak pergi menjauh. Selama apapun kita tumbuh-kembang dan beranjak dewasa. Sebagaimanapun peradaban urban menggulung kita dengan polusi emosi, dengan globalisasi, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Sebagaimanapun waktu bersekutu dengan pergeseran peradaban dan budaya yang berusaha menghapus kita.
Kita bisa saja memiliki banyak rumah di sana dan di sini, terserah. Rumah tetap, rumah singgah, atau malah yang lebih hina rumah investasi, mungkin. Hanya satu yang bisa kujelaskan sebagai definisi rumah.
Rumah bisa lebih dari satu. Asalkan memiliki sebuah definisi, ketika.
RUMAH. Adalah sebuah tempat, di mana hati kembali berlabuh.
-Arif Adiansyah, Muhammad.