Prolog
Hari ini adalah
hari yang berat dan melelahkan. Rasanya bahkan jauh melebihi beratnya hari-hari
kemarin yang terasa normal dan biasa. Seperti seorang anak kecil yang sedang
marah—hanya saja lebih pasrah— begitu tiba di dalam kamar, dengan segera kau
lemparkan tubuhmu ke atas tempat tidur sambil mendengus. Pintu kamar terkunci
dan lampu kamar telah redup.
Pekerjaan.
Perjuangan. Perasaan.
Kini kau terkurung
bersama hal-hal yang menelanmu perlahan ke dalam lumpur kelelahan yang tak
berkesudahan.
Hampir saja kau
melupakan sesuatu. Beruntungnya dirimu, beberapa titik air mata yang jatuh tak
sampai membuatmu melupakan sosok anak kecil yang ada dalam dirimu, karena anak
kecil itulah yang akan membawamu pergi dari dunia anak-anak besar kini.
Kau boleh menangis, tapi jangan terus-terusan, kata anak itu.
Dengan pipi basah
tersedu, bibirmu mancung dan cemberut. Kau lelah.
Aku tahu. Yuk, kita pergi saja malam ini. Jalan-jalan.
Kau mau ke mana?
Kau tahu dunia
anak-anak besar sama saja di mana pun. Kau juga tahu pergi ke mana pun, kalau
masih di dunia anak-anak besar pasti masih begitu-begitu saja. Makanya kau
bilang pada anak kecilmu itu, bahwa kau ingin pergi jauh dan tinggi, tinggi
sekali. Kau bilang, kau ingin pergi ke langit ketujuh, ke istana Sang Raja.
Katamu, Sang Raja yang Maha Penyayang mestilah akan mau menerima seorang hamba
yang kelelahan.
Kau bisa terbang?
Iya, juga,
pikirmu. Kau balik bertanya pada si anak kecilmu pertanyaan yang sama.
Tentu saja aku bisa! Semua anak kecil kan bisa
terbang. Ayo, mudah-mudahan kau masih ingat caranya terbang.
Kau pun mulai
memejamkan mata sembab itu. Sambil berpegangan tangan dengan anak kecilmu,
perlahan kau mulai menjadi sangat ringan dan mulai melayang perlahan.
*
Lapisan Langit Pertama
Setelah melewati
beberapa kabel listrik yang semrawut, tak lama kau mulai bisa menyaksikan
pemandangan lansekap hamparan lampu-lampu kota yang berserakan. Mau menghitung
bukannya malas, tapi seperti bintang di angkasa, tentu terlalu banyak.
Langit pertama ada di balik lapisan awan yang cukup
tebal. Tak akan lama lagi. Dan jangan lupakan sains, semakin tinggi maka
oksigen akan semakin tipis.
Kau mengangguk,
tandanya? Paham. Sesaat setelahnya kau mulai memasuki lapisan awan tebal yang
memisahkan pandangan mata dari melihat lampu-lampu kota. Di awan agak dingin,
tapi tidak lama, karena segera kau akhirnya sampai di lapisan langit yang
pertama.
Tadaaaa~
Kau tampak sangat
terkesan melihat keadaan lapisan langit pertama di malam hari. Tentu saja
karena ini pengalaman pertamamu, kan? Siapa sangka malam ini kau bisa berdiri
di atas awan.
Awan rasanya sejuk
dingin-dingin empuk di telapak kaki. Dari bumi terlihat seperti sangat lembut
bagai permen kapas, nyatanya malah jauh lebih lembut. Telapak kakimu terlihat
seperti sedang bernafas ketika jari-jarinya meregang mencoba menggaruk-garuk
lembutnya awan di langit. Kau mulai tersenyum dan sedikit terkekeh pelan.
Di sini tempatnya pelangi, lho.
Masa? Mana? Karena
tidak kelihatan olehmu.
Kan sekarang malam hari, nggak mungkin
dinyalain.
Hmm, masuk akal.
Itu! Lihat!
Anak kecilmu
menunjuk ke arah datangnya cahaya bulan, matamu bergerak mengikuti telunjuknya.
Sebuah toko permen! Apalagi kalau bukan permen kapas. Kau dan anak itu segera
memesan masing-masing satu permen kapas yang terbuat dari awan yang diberi rasa
manis dari serpihan rambut unicorn.
Permen kapas di sini harganya murah dan menyenangkan, cukup dengan sebuah
senyuman maka kau bisa mendapatkan sebuah permen kapas.
Setelah permen
kapas, kau memutuska untuk sebentar melihat-lihat keadaan di lapisan langit
pertama. Kau bisa membayangkannya bukan? Apa yang kau lihat, seperti seorang
anak lelaki kecil berupa siluet yang membawa alat pancing. Orang aneh yang
sedang bersepeda di kejauhan di depan cahaya bulan. Atau seorang wanita Roma
yang berjalan-jalan dengan sebuah obor di tangan kanannya. Heh, aneh juga rupanya di sini, tapi menyenangkan, pikirmu. Kau
memutuskan untuk lain waktu kembali kemari saat pelangi sedang menyala.
Kau mengiyakan
saat anak kecilmu menawari untuk melanjutkan perjalanan ke lapisan langit
kedua.
*
Lapisan Langit Kedua
Mendekati langit
kedua, tubuhmu rasanya kok semakin ringan saja ya. Oh, karena gravitasi, bukan?
Oksigen juga semakin menipis. Berdasarkan pada ilmu di bumi, kau mulai menguap
karena kekurangan oksigen. Betul juga, bukan?
Hoaaahmm… Selamat datang di lapisan langit kedua~
Di lapisan langit
kedua kau mulai keluar dari atmosfer bumi. Gila betul, di sini oksigen sangat
tipis dan kau menguap panjaaaaaang sekali seperti air yang sedang direbus
sampai mendidih. Saking panjangnya sampai matamu berair dan menjadi berat. Anak
kecilmu juga mulai mengalami hal serupa.
Tahu tidak? Di sini tempat tinggalnya unicorn, lho?
Mau lihat?
Tentu saja kau
mau. Berdua, kau dan anak kecilmu melayang menuju ke sebuah tempat di belakang
bulan yang pucat bersinar. Dan betapa takjubnya dirimu melihat ada puluhan ekor
unicorn tengah asyik berjemur di
bawah sinar rembulan. Di antara begitu banyak unicorn, matamu menangkap sesosok bapak-bapak serupa seorang
gembala yang sedang duduk di bawah sebuah pohon yang melayang tak tertanam—ya
mau ditanam di mana. Kau dan anak kecilmu menghampiri si bapak gembala.
Punten (permisi), Pak. Sedang apa?
“Eh, ada orang.
Biasa saya mah, lagi ngangon unicorn.”
Oohh.
Kau tidak ikut
bicara, hanya menyimak.
Hoaaahmm… Ini unicorn punya bapak semua?
“Bukan. Bukan
punya bapak. Ini mah punya Yang Maha
Sang Hyang Raja.”
Oohh. Bapak disuruh ngangon
unicorn?
“Ah, tidak juga.”
Terus kenapa bapak ngangon?
“Ini si Atip.”
Sambil menguap,
kau menunjukkan ekspresi bingung. Anak kecilmu juga begitu.
Si Atip?
“Lho, kok tidak
tahu?”
Atip yang mana, Pak? Saya tidak kenal, kami dari bumi.
Siapakah Atip?
“Eeehh. Bukan Atip
itu. Maksud saya, ini si Atip yang merupakan keinginan sendiri tanpa ada
dorongan atau pengaruh dari pihak-pihak di luar pribadi diri saya sendiri.”
Ooooohhh, inistiatif, Bapak. Hoaaaaahhmmm…
“Kalian dari bumi?
Mau ke mana?”
Kami mau ke langit ketujuh pak, menemui Sang Raja.
Hoaaahhmmmm…..
Menguap lagi.
Ngantuk betul kau rupanya ya.
“Ooh, menemui Sang
Raja. Memangnya sudah waktunya?”
Waktunya apa, Pak?
“Bertemu Sang Maha
Raja.”
Kurang tahu, Pak. Tapi kasihan teman saya sedang
sedih, katanya Sang Raja Maha Menyayangi, mestilah mau menerima teman saya yang
sedih ini barang sejenak. Hoaaahhmm…
“Ohh, setahu saya nggak begitu, sih, sistemnya. Biasanya mah dipanggil.”
Begitu ya, Pak.
“Begitu, Nak. Tapi
ya silakan dicoba saja kalau penasaran.”
Baik, Pak. Hoaaaammmm…
“Hati-hati di
jalan ya. Semoga selamat sampai ke tujuan.”
Terimakasih, Bapak. Dadah. Hoaaaahhhmmm…
Tapi sebelum
menuju ke lapisan langit ketiga, katamu kau ingin lebih dulu bisa menginjak
bulan. Maka kau melayang menuju ke bulan bersama anak kecilmu. Berdua kau
duduk-duduk di tengah bulan sambil menikmati pemandangan malam dari bulan. Bumi
kelihatan, venus terlihat, mars ada, bintang-bintang banyak bertaburan, dan unicorn-unicorn yang rambutnya
warna-warni seperti Avril Lavigne waktu masih muda.
Kau bertanya pada
anak kecilmu tentang indahnya malam ini, indah ketika kau pergi menjauhi dunia
anak-anak besar.
Hoaaaahhmm… Iya, ya? Tapi ngantuk begini.
Karena suplai
oksigen ke otak sudah sangat minim, maka menguap kau tak tertahankan. Menguap teramat
panjang sampai mata menangis karena mengantuk. Lalu katamu pada anak kecilmu,
kau meminta untuk tertidur sejenak. Di sini saja, di bulan saja, sebentar saja.
Sebelum nanti melanjutkan perjalanan lagi menuju istana Sang Raja di langit
ketujuh.
Hoooaaaahhmmmm… Baiklah.
*
Epilog
Dalam sebuah mimpi
di malam hari, seorang utusan Sang Hyang Raja datang membawa sebuah surat resmi
kerajaan, yang bertitah sebagaimana yang tercantum sebagai berikut:
Kepada,
Yang Kami sayangi selalu
di Bumi
Untuk diketahui agar tidak terkejut saat terbangun
kelak, bahwa perjalananmu menuju langit ketujuh telah Kami ketahui. Kami senang
melihatmu malam ini, akan tetapi kau belum mampu menempuh perjalanan menuju ke
langit ketujuh, baik secara fisik, psikis, maupun ruh sekalipun, karena memang
belum waktunya.
Dengan demikian Kami meminta Atip si gembala untuk mengantarkanmu kembali menuju kediamanmu di
dunia anak-anak besar.
Mengenai dunia anak-anak besar, ketahuilah olehmu,
bahwa itu adalah dunia yang tak bisa kau hindari. Itu adalah dunia yang mesti
kau tempuh dan kau jalani.
Dan ketahuilah olehmu, bahwa di dunia anak-anak besar
nanti, Kami telah menyiapkan hal-hal baik dan manis untuk kau syukuri.
Maka dari itu, ketahuilah olehmu dan jangan sekalipun
kau lupakan, bahwa dalam dirimu akan selalu ada seorang anak kecil yang tak
akan membiarkanmu tersesat kehilangan arah. Serta ketahuilah olehmu, bahwa Kami
amat sangat menyayangimu, apapun yang terjadi.
Dengan demikian, secara resmi kami memberikan titah
kepadamu untuk bersabar, bersyukur, dan senantiasa berbahagia sebagai seorang
anak besar dan sebagai seorang anak kecil.
Apabila di kemudian hari kau merasakan kesedihan
serupa dan muncul rasa ingin menyerah, maka pejamkanlah matamu dan terbanglah
sesuka hati. Menjelajahi ruang-ruang di mimpi, atau sekadar menemui Atip si gembala yang senantiasa jenaka.
Sekian, dan tersenyumlah.