Sunday, 26 April 2020

CERITA SEBELUM TIDUR


Prolog

Hari ini adalah hari yang berat dan melelahkan. Rasanya bahkan jauh melebihi beratnya hari-hari kemarin yang terasa normal dan biasa. Seperti seorang anak kecil yang sedang marah—hanya saja lebih pasrah— begitu tiba di dalam kamar, dengan segera kau lemparkan tubuhmu ke atas tempat tidur sambil mendengus. Pintu kamar terkunci dan lampu kamar telah redup.

Pekerjaan. Perjuangan. Perasaan.

Kini kau terkurung bersama hal-hal yang menelanmu perlahan ke dalam lumpur kelelahan yang tak berkesudahan.

Hampir saja kau melupakan sesuatu. Beruntungnya dirimu, beberapa titik air mata yang jatuh tak sampai membuatmu melupakan sosok anak kecil yang ada dalam dirimu, karena anak kecil itulah yang akan membawamu pergi dari dunia anak-anak besar kini.

Kau boleh menangis, tapi jangan terus-terusan, kata anak itu.

Dengan pipi basah tersedu, bibirmu mancung dan cemberut. Kau lelah.

Aku tahu. Yuk, kita pergi saja malam ini. Jalan-jalan. Kau mau ke mana?

Kau tahu dunia anak-anak besar sama saja di mana pun. Kau juga tahu pergi ke mana pun, kalau masih di dunia anak-anak besar pasti masih begitu-begitu saja. Makanya kau bilang pada anak kecilmu itu, bahwa kau ingin pergi jauh dan tinggi, tinggi sekali. Kau bilang, kau ingin pergi ke langit ketujuh, ke istana Sang Raja. Katamu, Sang Raja yang Maha Penyayang mestilah akan mau menerima seorang hamba yang kelelahan.

Kau bisa terbang?

Iya, juga, pikirmu. Kau balik bertanya pada si anak kecilmu pertanyaan yang sama.

Tentu saja aku bisa! Semua anak kecil kan bisa terbang. Ayo, mudah-mudahan kau masih ingat caranya terbang.

Kau pun mulai memejamkan mata sembab itu. Sambil berpegangan tangan dengan anak kecilmu, perlahan kau mulai menjadi sangat ringan dan mulai melayang perlahan.

*

Lapisan Langit Pertama

Setelah melewati beberapa kabel listrik yang semrawut, tak lama kau mulai bisa menyaksikan pemandangan lansekap hamparan lampu-lampu kota yang berserakan. Mau menghitung bukannya malas, tapi seperti bintang di angkasa, tentu terlalu banyak.

Langit pertama ada di balik lapisan awan yang cukup tebal. Tak akan lama lagi. Dan jangan lupakan sains, semakin tinggi maka oksigen akan semakin tipis.

Kau mengangguk, tandanya? Paham. Sesaat setelahnya kau mulai memasuki lapisan awan tebal yang memisahkan pandangan mata dari melihat lampu-lampu kota. Di awan agak dingin, tapi tidak lama, karena segera kau akhirnya sampai di lapisan langit yang pertama.
Tadaaaa~

Kau tampak sangat terkesan melihat keadaan lapisan langit pertama di malam hari. Tentu saja karena ini pengalaman pertamamu, kan? Siapa sangka malam ini kau bisa berdiri di atas awan.

Awan rasanya sejuk dingin-dingin empuk di telapak kaki. Dari bumi terlihat seperti sangat lembut bagai permen kapas, nyatanya malah jauh lebih lembut. Telapak kakimu terlihat seperti sedang bernafas ketika jari-jarinya meregang mencoba menggaruk-garuk lembutnya awan di langit. Kau mulai tersenyum dan sedikit terkekeh pelan.

Di sini tempatnya pelangi, lho.

Masa? Mana? Karena tidak kelihatan olehmu.

Kan sekarang malam hari, nggak mungkin dinyalain.

Hmm, masuk akal.

Itu! Lihat!

Anak kecilmu menunjuk ke arah datangnya cahaya bulan, matamu bergerak mengikuti telunjuknya. Sebuah toko permen! Apalagi kalau bukan permen kapas. Kau dan anak itu segera memesan masing-masing satu permen kapas yang terbuat dari awan yang diberi rasa manis dari serpihan rambut unicorn. Permen kapas di sini harganya murah dan menyenangkan, cukup dengan sebuah senyuman maka kau bisa mendapatkan sebuah permen kapas.

Setelah permen kapas, kau memutuska untuk sebentar melihat-lihat keadaan di lapisan langit pertama. Kau bisa membayangkannya bukan? Apa yang kau lihat, seperti seorang anak lelaki kecil berupa siluet yang membawa alat pancing. Orang aneh yang sedang bersepeda di kejauhan di depan cahaya bulan. Atau seorang wanita Roma yang berjalan-jalan dengan sebuah obor di tangan kanannya. Heh, aneh juga rupanya di sini, tapi menyenangkan, pikirmu. Kau memutuskan untuk lain waktu kembali kemari saat pelangi sedang menyala.

Kau mengiyakan saat anak kecilmu menawari untuk melanjutkan perjalanan ke lapisan langit kedua.

*

Lapisan Langit Kedua

Mendekati langit kedua, tubuhmu rasanya kok semakin ringan saja ya. Oh, karena gravitasi, bukan? Oksigen juga semakin menipis. Berdasarkan pada ilmu di bumi, kau mulai menguap karena kekurangan oksigen. Betul juga, bukan?

Hoaaahmm… Selamat datang di lapisan langit kedua~

Di lapisan langit kedua kau mulai keluar dari atmosfer bumi. Gila betul, di sini oksigen sangat tipis dan kau menguap panjaaaaaang sekali seperti air yang sedang direbus sampai mendidih. Saking panjangnya sampai matamu berair dan menjadi berat. Anak kecilmu juga mulai mengalami hal serupa.

Tahu tidak? Di sini tempat tinggalnya unicorn, lho? Mau lihat?

Tentu saja kau mau. Berdua, kau dan anak kecilmu melayang menuju ke sebuah tempat di belakang bulan yang pucat bersinar. Dan betapa takjubnya dirimu melihat ada puluhan ekor unicorn tengah asyik berjemur di bawah sinar rembulan. Di antara begitu banyak unicorn, matamu menangkap sesosok bapak-bapak serupa seorang gembala yang sedang duduk di bawah sebuah pohon yang melayang tak tertanam—ya mau ditanam di mana. Kau dan anak kecilmu menghampiri si bapak gembala.

Punten (permisi), Pak. Sedang apa?

“Eh, ada orang. Biasa saya mah, lagi ngangon unicorn.”

Oohh.

Kau tidak ikut bicara, hanya menyimak.

Hoaaahmm… Ini unicorn punya bapak semua?

“Bukan. Bukan punya bapak. Ini mah punya Yang Maha Sang Hyang Raja.”

Oohh. Bapak disuruh ngangon unicorn?

“Ah, tidak juga.”

Terus kenapa bapak ngangon?

“Ini si Atip.”

Sambil menguap, kau menunjukkan ekspresi bingung. Anak kecilmu juga begitu.

Si Atip?

“Lho, kok tidak tahu?”

Atip yang mana, Pak? Saya tidak kenal, kami dari bumi. Siapakah Atip?

“Eeehh. Bukan Atip itu. Maksud saya, ini si Atip yang merupakan keinginan sendiri tanpa ada dorongan atau pengaruh dari pihak-pihak di luar pribadi diri saya sendiri.”

Ooooohhh, inistiatif, Bapak. Hoaaaaahhmmm…

“Kalian dari bumi? Mau ke mana?”

Kami mau ke langit ketujuh pak, menemui Sang Raja.
Hoaaahhmmmm…..

Menguap lagi. Ngantuk betul kau rupanya ya.

“Ooh, menemui Sang Raja. Memangnya sudah waktunya?”

Waktunya apa, Pak?

“Bertemu Sang Maha Raja.”

Kurang tahu, Pak. Tapi kasihan teman saya sedang sedih, katanya Sang Raja Maha Menyayangi, mestilah mau menerima teman saya yang sedih ini barang sejenak. Hoaaahhmm…

“Ohh, setahu saya nggak begitu, sih, sistemnya. Biasanya mah dipanggil.”

Begitu ya, Pak.

“Begitu, Nak. Tapi ya silakan dicoba saja kalau penasaran.”

Baik, Pak. Hoaaaammmm…

“Hati-hati di jalan ya. Semoga selamat sampai ke tujuan.”

Terimakasih, Bapak. Dadah. Hoaaaahhhmmm…

Tapi sebelum menuju ke lapisan langit ketiga, katamu kau ingin lebih dulu bisa menginjak bulan. Maka kau melayang menuju ke bulan bersama anak kecilmu. Berdua kau duduk-duduk di tengah bulan sambil menikmati pemandangan malam dari bulan. Bumi kelihatan, venus terlihat, mars ada, bintang-bintang banyak bertaburan, dan unicorn-unicorn yang rambutnya warna-warni seperti Avril Lavigne waktu masih muda.

Kau bertanya pada anak kecilmu tentang indahnya malam ini, indah ketika kau pergi menjauhi dunia anak-anak besar.

Hoaaaahhmm… Iya, ya? Tapi ngantuk begini.

Karena suplai oksigen ke otak sudah sangat minim, maka menguap kau tak tertahankan. Menguap teramat panjang sampai mata menangis karena mengantuk. Lalu katamu pada anak kecilmu, kau meminta untuk tertidur sejenak. Di sini saja, di bulan saja, sebentar saja. Sebelum nanti melanjutkan perjalanan lagi menuju istana Sang Raja di langit ketujuh.

Hoooaaaahhmmmm… Baiklah.

*

Epilog

Dalam sebuah mimpi di malam hari, seorang utusan Sang Hyang Raja datang membawa sebuah surat resmi kerajaan, yang bertitah sebagaimana yang tercantum sebagai berikut:

Kepada,
Yang Kami sayangi selalu

di Bumi

Untuk diketahui agar tidak terkejut saat terbangun kelak, bahwa perjalananmu menuju langit ketujuh telah Kami ketahui. Kami senang melihatmu malam ini, akan tetapi kau belum mampu menempuh perjalanan menuju ke langit ketujuh, baik secara fisik, psikis, maupun ruh sekalipun, karena memang belum waktunya.

Dengan demikian Kami meminta Atip si gembala untuk mengantarkanmu kembali menuju kediamanmu di dunia anak-anak besar.

Mengenai dunia anak-anak besar, ketahuilah olehmu, bahwa itu adalah dunia yang tak bisa kau hindari. Itu adalah dunia yang mesti kau tempuh dan kau jalani.

Dan ketahuilah olehmu, bahwa di dunia anak-anak besar nanti, Kami telah menyiapkan hal-hal baik dan manis untuk kau syukuri.

Maka dari itu, ketahuilah olehmu dan jangan sekalipun kau lupakan, bahwa dalam dirimu akan selalu ada seorang anak kecil yang tak akan membiarkanmu tersesat kehilangan arah. Serta ketahuilah olehmu, bahwa Kami amat sangat menyayangimu, apapun yang terjadi.

Dengan demikian, secara resmi kami memberikan titah kepadamu untuk bersabar, bersyukur, dan senantiasa berbahagia sebagai seorang anak besar dan sebagai seorang anak kecil.

Apabila di kemudian hari kau merasakan kesedihan serupa dan muncul rasa ingin menyerah, maka pejamkanlah matamu dan terbanglah sesuka hati. Menjelajahi ruang-ruang di mimpi, atau sekadar menemui Atip si gembala yang senantiasa jenaka.

Sekian, dan tersenyumlah.

Monday, 16 December 2019

POKOK POHON CERI, Minggu, 15 Desember 2019


Setelah rintik terakhir air hujan di musim penghujan turun menyentuh bumi, musim ceri dimulai esok harinya. Daun-daun yang basah oleh sisa hujan semalam kembali dibasahi oleh embun pagi yang juga hinggap di buah-buah ceri yang warnanya masih hijau. Tapi tentu tak akan lama lagi, buah-buah ceri yang warnanya hijau itu pelan-pelan akan berubah kemerahan. Lalu tak akan lama sampai buah-buah ceri yang warnanya kemerahan itu akan berubah menjadi buah-buah ceri yang warnanya merah matang, ranum, segar, dan siap untuk dipetik dan dinikmati oleh anak-anak kecil yang suka pada buah ceri yang sudah matang.

Namun hal itu tak pernah sekalipun terjadi. Tak pernah ada anak-anak kecil datang kemari untuk bermain atau memetik buah-buah ceri yang warnanya merah dan sudah matang. Kalaupun ada beberapa anak yang lewat, mereka akan lewat sambil lari terbirit-birit seperti melihat hantu. Mereka tak pernah singgah ke pohon ceri ini, katanya karena ada aku di pohon ini. Tidak salah sebetulnya, karena memang di pokok pohon ceri inilah aku tinggal, sejak, entahlah, tiga belas tahun setidaknya.

“Jangan main ke pohon ceri di belakang sekolah,” katanya.

“Pohon cerinya angker,” katanya.

“Ada hantunya!” katanya.

“Hantunya anak laki-laki,” katanya.

“Mati digantung ibunya sendiri,” katanya.

“Pokoknya jangan ke sana!” kata mereka semua.

Aku menjadi sangat sedih mendengar semuanya itu. Mengapa mereka harus mengatakan itu semua. Mengapa mereka harus merasa perlu mengarang cerita yang begitu mengerikan, tentang ibuku. Ibuku bukanlah perempuan yang jahat hingga tega meninggalkanku di sebuah pohon ceri di antah berantah. Aku merasa sedih.

Dulu sekali, aku sudah suka makan buah ceri yang manis. Aku makan buah ceri yang manis bersama ayah dan ibu yang sayang padaku. Di pekarangan rumahku dulu ada sepokok pohon ceri yang disukai oleh anak-anak di sekitar rumahku. Setelah musim hujan berhenti membasahi bumi, ayahku mengajakku naik ke atas pohon untuk memetik buah-buah ceri yang warnanya merah dan matang. Jika anak-anak lain datang, ayahku akan baik pada mereka degan mengizinkan  mereka untuk ikut bertengger di dahan-dahan pokok pohon ceri. Karena itu aku menjadi senang dan punya banyak teman.

Tapi tidak sekarang. Sekarang aku hanya seorang anak laki-laki yang sedih dan kesepian. Hantu, kata mereka di luar sana.

-

Kurang lebih, tiga belas tahun yang lalu.

Waktu itu maghrib sedang menjelang. Kata ayah dan ibu, kami bertiga akan pergi ke luar kota, ke rumah nenek di Bandung. Detelah semua barang disiapkan, kami pun mulai melaju dengan mobil sedan milik ayah. Aku duduk di belakang dan mulai mengantuk, memasuki gerbang tol, seingatku aku sudah berbaring dan tertidur.

Entah pukul berapa, aku tetiba terbangun dari tidurku. Tak kudapati diriku di jok belakang mobil ayah. Kudapati diriku tengah terbaring di antara semak belukar beralas tanah dan batuan yang amat kasar. Aku mencoba untuk berdiri perlahan namun seketika aku tercekat. Saat aku berdiri, aku melihat tubuhku sendiri terbujur kaku dan masih terbaring di antara semak belukar, bersimbah darah di kepala. Aku kebingungan, gemetaran. Tak ada ayah dan ibu di manapun. Aku mulai menangis, tanpa suara, duduk di samping tubuhku yang terbujur kaku.

Tak lama hujan pun turun. Aku berjalan menjauh tanpa arah sampai menemukan sebuah pohon dan berteduh hingga tiga belas tahun lamanya.

-

Sekarang sudah malam hari. Jika masih siang, di bawah pokok pohon ceri ini berserakan buah-buah ceri yang matang dan tak termakan, betapa sia-sia, karena sekarang aku juga sudah tidak bisa makan buah ceri seperti dulu. Juga karena tidak ada seorang anak pun yang mau mampir kemari, kan ada aku, ada hantu.

Malam ini sedang terang bulan. Atap-atap sekolahan yang usang terlihat bisu terpapar cahaya malam. Kelelawar-kelelawar yang mencuri buah-buah ceri yang masih bergelantung terlihat terbang sekelebat. Padang ilalang yang tinggi dan semak belukar yang terbentang di belakang pokok pohon ceri dapat kuamati lebih jelas. Sampai mataku terkunci pada sesosok anak kecil yang tengah berjalan linglung di tengah-tengah padang yang membentang. Aku beringsut menyembunyikan diri ke puncak pokok pohon ceri sembari memicingkan mata mengamati sosok kecil yang nampaknya berjalan semakin dekat ke arah pokok pohon ceri.

Seorang anak perempuan, ia berjalan layu sambil memeluk sebuah boneka kecil. Ia menangis tanpa suara saat tiba tepat di bawah pokok pohon  ceri, duduk di atas tanah sambil bersandar ke pokok pohon ceri, memeluk lutut dan boneka kecilnya. Rambutnya pendek sebahu dan agak kemerahan karena noda darah dari kepalanya. Aku menyentuh kepalaku sendiri, sama berdarah. Aku bisu sebisu-bisunya. Kulayangkan pandanganku ke arah padang ilalang dan semak belukar yang disinari sinar rembulan, arah datangnya anak perempuan ini. Nun jauh di sana, lampu-lampu kendaraan terlihat seperti barisan semut yang tak bergerak. Sementara di ujung terdepan barisan semut itu tampak setitik api berkobar dan asap yang mengepul ke udara.

Aku tak menyadari air mata yang mengalir di pipiku. Pandanganku mengabur oleh air mata yang tak tertahankan. Ayah. Ibu. Aku lalu menyeka air mataku yang mulai menetes. Kembali kuamati anak perempuan yang ada di bawahku. Pelan-pelan aku turun ke dahan yang lebih rendah dengan sangat hati-hati. Aku tak mau mengejutkannya.
“Hei,” kuasapa ia pelan.

Ia mendongak ke arahku. Terkejut dan ketakutan setengah mati, namun juga penuh kebingungan.

“Di mana ayah dan ibumu?” tanyaku.

Anak perempuan ini cantik. Berlinang air mata. Bersimbah darah.

Ia menggelengkan kepalanya. Pelan. Menangis tanpa suara.

Aku mengulurkan tanganku perlahan. Aku tersenyum.


Friday, 9 August 2019

SEPASANG MEMOAR

Katakanlah padaku semua yang kau tahu. Ceritakan padaku semua yang kau dengar dan lihat, tentang musim rambutan saat bulan sedang Januari. Ya, Januari yang itu, tahun 2012. Januari yang dimulai saat kau melihat beberapa anak kecil tengah berkumpul dan bermain di bawah sebuah pohon kersen yang buahnya tinggal sedikit dan berwarna hijau. Katamu itu adalah sore hari yang cerah dan menyenangkan, karena anak-anak itu terlihat senang. Mereka bergantian satu dan lainnya berayun-ayun dengan sebuah ayunan yang tergantung di salah satu dahan pohon kersen tersebut. Oh, kau juga ingat rupanya, ternyata ada tiga orang anak laki-laki yang sedang bertengger di dahan-dahan pohon tersebut. Sepertinya mencari sisa-sisa buah yang kemerahan, mudah-mudahan masih ada.

Kau mengingatkanku, bahwa akulah dulu yang pertama memasang ayunan itu di pohon kersen. Ayunan kecil dari sebilah potongan bambu yang diikat ke atas dahan menggunakan tali yang biasa digunakan orang dewasa memanjat tebing, apa namanya? Webbing, ya? Tentu saja aku ingat, karena aku tak sendiri memasangnya, aku bersama beberapa kawan yang memang biasa 'menunggui' pohon kersen itu. Kau juga bersamaku? Ya, ya, tentu saja aku ingat semuanya.

Kau dan aku jadi terdiam sesaat, kita sepertinya sedang kembali ke sore itu di bulan Januari. Sepertinya kau sambil tersenyum, karena aku juga. Sampai kau berseru, Hei, katamu, selain anak-anak di bawah pohon kersen, itu juga ada sekumpulan anak laki-laki yang sedang bermain bola. Bolanya plastik, lapangannya bundar, bergawang batu. Kau ceritakan kalau lapangan itu tak jauh dari pohon kersen yang dipasangi ayunan bambu. Ya, ya, dan kalau tendangan mereka salah sasaran, bolanya akan melayang dan jatuh di antara tanaman-tanaman yang rimbun di pinggir lapangan. Tapi bukan semak-semak, kan, ya? Bukan, katamu mengamini. Ah, lihat anak yang berkulit gelap itu, dia membuka baju dan bertelanjang dada. Berkeringat dan tak peduli sedikit pun. Itu, yang ikal dan kurus, sepertinya kakinya kapalan, lapangannya kasar. Katamu sepertinya beberapa dari mereka juga jadi kapalan tapak kakinya. Lihat, yang gempal itu malah sampai lecet jempol kakinya. Nah, kan! Bolanya terbang ke yang bukan semak-semak tadi. Kau tertawa.

Ada apa lagi sore itu, ingatkan aku. Dendi? Dandi? Rasanya Dandi. Seorang anak lelaki kecil yang sering datang berkunjung. Tentu saja dia yang datang sambil membawa kotak dagangannya itu, kan. Beberapa gorengan dan kue-kue manis. Ya, membantu orangtua katanya. Katamu aku atau beberapa kawanku selalu membelinya. Tentu saja harus kami beli. Kau ingat? Bahkan salah satu kawan tidak hanya membeli dari Dandi, tapi juga membelikan Dandi jajanan lainnya. Dandi jangan jualan saja, Dandi juga harus kebagian rasanya jajan. Wajah Dandi kecil aku masih ingat betul, kau juga demikian, senyumnya polos.

Ah. Angin bertiup pelan sore itu, katamu.

Aku agak lupa, bisakah kau ingatkan, di manakah aku dan kawan-kawanku sore itu?

Kami ada di mana-mana katamu? Kau jawab, Ya. Menurut keteranganmu yang reliabel, kami ada di mana-mana. Kami ada bersama anak-anak yang bermain di bawah pohon kersen itu. Kami terbang di atas ayunan bambu bergantian seperti anak kecil. Kami juga ada bersama tiga anak laki-laki yang berada di dahan-dahan pohon kersen, mencari sisa-sisa buah yang ranum. Kami juga bermain bola di lapangan yang bundar? Ya. Ya ampun. Tentu saja kami juga sedang bersama Dandi kecil si penjual kue ya? Tentu.

Ah. Kurasa sore itu tak terasa panjang jika demikian adanya seperti yang kau ceritakan. Tolong katakan padaku, bagaimana sore itu berakhir, kawan? Sore itu, katamu, berakhir ketika anak-anak kecil, yang laki-laki dan yang perempuan kemudian pulang menjelang adzan maghrib. Meninggalkan suasana yang dramatis saat matahari mulai terbenam di antara celah dua gedung yang bersebelahan. Bagaimana kami berakhir sore itu, kawan? Oh, Tidak, katamu. Katamu kami tak pernah berakhir, bahkan tak sekalipun pergi dari lapangan dan pohon kersen itu. Katamu kami bermalam di depan perapian dan selembar daun pisang yang di atasnya ada nasi, tempe, tahu, telur dadar, sayuran. Sambal dan kerupuk? Ya, itu juga. Katamu, setelah itu pun kami tak pernah sekalipun pergi ke mana. Kami di sana selalu, sampai pagi datang lagi. Sampai Sore datang lagi. Sampai anak-anak kecil kembali bermain dengan semuanya. Katamu, kami 'menunggui' semuanya. Katamu, kami seolah lahir di sana. Katamu, seolah kami juga akan menutup mata kami yang kelak lelah di sana. Atau katamu, pohon kersen itu, buah-buahnya yang ranum dan yang belum itu, ayunan bambu yang tergantung itu, lapangan yang kasar mukanya itu, batu-batu yang disusun menjadi gawang itu, tenaman-tanaman rimbun di pinggiran itu, Dandi dan gorengan serta kue-kue manisnya itu, matahari yang terbenam di antara dua gedung itu, perapian kecil yang remang-remang itu, semuanya bersama kami, ke mana pun. Semuanya adalah kami, di mana pun. Semuanya menyertai kami, sampai kapan pun.

Kawan, kau juga harus, bersama semuanya itu menyertai kami. Ceritakan lagi Januari sore itu pada kami yang nanti tua dan renta. Ceritakan lagi, Januari sore itu, agar kami tak berakhir dan saling lupa. Ceritakan lagi, angin Januari sore itu, supaya lembutnya berbisik di telinga kami di tanah yang merah.

Wednesday, 10 April 2019

KOMEDI ALKISAH



Apa yang diinginkan oleh banyak manusia di muka bumi ini? Banyak. Satu saja, Anda, apa yang Anda inginkan di muka numi ini? Banyak, bukan? Bukan, bukan salah jika Anda berkeinginan demikian. Anda dan manusia-manusia di bumi sama ingin dicinta dan disuka oleh yang lainnya. Akan tetapi, bagaimana mungkin Anda akan dicinta dan disuka jika Anda tidak berbuat sesuatu, atau satu dua hal yang bias dicinta dan disuka. Berpenampilan menarik mungkin akan mendatangkan beberapa cinta dan suka terhadap Anda, tapi tentang berbuat satu atau dua hal yang menentukan seberapa kekal cinta dan suka yang datang pada Anda. Satu dua hal yang Anda perbuat tersebut selanjutnya harus diukur dari seberapa jauh perbuatan itu berdampak terhadap dunia, dan seberapa kekal ia akan hidup bersama waktu. Maksud saya, apakah perbuatan tersebut mampu berdampak, hidup, dan dikenang sepanjang masa. Atau mungkin beberapa hari saja atau bahkan kurang.

Selain berbuat, mencipta satu atau dua hal juga tentu saja akan mungkin membawakan anda beberapa cinta atau suka. Kecuali perbuatan Anda memiliki dampak yang dapat dirasakan hamper separuh populasi manusia di muka bumi ini, apa yang Anda cipta memungkinkan Anda mendapatkan cinta dan suka yang hidup lebih lama hidup bersama waktu ketimbang satu dua hal yang Anda perbuat dengan perilaku. Meski demikian, pada dasarnya, mencipta juga merupakan sebuah perbuatan juga, kan. Tapi dengan mencipta, Anda melahirkan sebuah ciptaan Anda, sebuah karya, yang memiliki potensi masa hidup mungkin lebih lama dari masa hidup yang Anda miliki di bumi kita ini.

Sebagai manusia yang menulis dan menyampaikan ide berbuat dan mencipta kepada Anda, saya juga berusaha untuk sebisa mungkin berbuat, utamanya mencipta. Apa yang kemudian saya atau Anda cipta haruslah memiliki sebuah unsur orisinalitas yang absolut dan berdiri sendiri. Apa yang Anda cipta mungkin saja terinspirasi dari berbagai pengalaman yang ada, baik pengalaman visual, virtual, imajiner, atau juga pengalaman supranatural yang terjadi pada Anda atau terjadi di sekitar Anda. Namun, orisilnalitas itu harus berdiri sendiri di atas hasil berpikir Anda sebagai manusia. Orisinalitas dari apa yang Anda cipta mestilah lahir dari rahim pikiran Anda sendiri. Seperti berkembang biak atau beranak pinak, anak yang lahir dari Anda adalah murni darah daging Anda, dengan identitas biologis, karakter psikologis Anda sendiri.

Gagasan tentang berbuat dan mencipta tersebut pada akhirnya, sore ini membawa saya untuk hadir ke sebuah kedai kopi yang tidak jauh dari tempat saya tinggal. Di kedai tersebut saya memesan sebuah minuman dingin berbahan dasar limun, bukan kopi. Rasanya saya sedang tidak ingin minum kopi hari ini karena saya terserang sariawan yang perih jika terkena cairan kopi. Apakah Anda pernah juga merasakan sariawan? Dan perih ketika Anda minum kopi? Bagaimanapun, saya sudah duduk di kursi. Meja saya dengan cepat dipenuhi oleh gelas minuman limun, asbak, sebungkus rokok, pemantik, dan lainnya. Saya cukup bingung di awal saya mulai duduk. Saya bingung dengan tidak adanya gagasan tentang apapun di kepala saya. Sehingga saya hanya duduk, menikmati minuman dan beberapa batang rokok di kedai kopi.

Saya merasakan sebuah perasaan cemas ketika saya duduk dan tidak memiliki gagasan ketika saya sedang ingin menulis sesuatu. Saya merasa cemas jika tidak berbuat dan mencipta saya tidak akan mendapatkan cinta dan suka yang sama diinginkan oleh banyak manusia di muka bumi ini. Saya, juga sama menginginkan hal itu. Maka saya harus mencipta sesuatu sore ini, mala mini, menulis sesuatu. Semakin keras saya berpikir dengan serius untuk menemukan sebuah gagasan untuk ditulis, gagasan yang akan datang rasanya justru malah semakin menjauh dari pikiran saya. Saya kemudian menjadi semakin cemas. Saya mencemaskan kapasitas pikiran saya yang mungkin sudah tidak mampu lagi untuk menjadi kreatif dan mampu untuk mencipta sesuatu. Tapi saya tidak ingin terjebak dalam pemikiran cemas negatif yang kontra produktif tersebut. Sehingga saya mencoba untuk berpikir tentang bagaimana cara menemukan gagasan dengan cara lain. Saya pikir, sampai pada paragraf yang saya tulis ini, saya terlalu serius dan sok filosofis. Saya rasa saya harus menggunakan sebuah pendekatan yang lebih ringan, lebih santai, dan tidak serius. Apakah Anda juga berpikir demikian? Apakah Anda menyukai hal-hal ringan yang tidak serius? Yang lebih menghibur dan tidak membebani otak Anda untuk berpikir lebih keras di luar pekerjaan Anda? Saya mencipta agar Anda cinta dan suka kepada saya, atau kepada apa yang saya cipta, dan Anda tidak memiliki tanggung jawab yang sama seperti yang saya punya agar apa yang saya cipta membuat Anda menjadi cinta dan suka terhadap saya, begitu? Sehingga biarlah berpikir menjadi urusan saya. Namun agar bisa memberi Anda perasaan cinta dan suka, tentu saya juga harus berpikir dalam keadaan perasaan yang sama cinta dan suka untuk Anda. Setujukah Anda? Bagaimana dengan komedi? Apakah Anda menyukai komedi? Atau anekdot, atau lelucon ringan yang membuat Anda setidaknya tersenyum sendiri. Sukakah Anda? Baiklah, saya akan menuliskan sebuah ciptaan yang bernuansa komedi yang ringan. Saya juga ingin sama bahagia dalam menulis bersama Anda yang mudah-mudahan bahagia dalam membaca.

Begini ceritanya,

Alkisah, adalah nama seorang laki-laki dewasa berumur dua puluhan yang tidak punya mata pencaharian tetap dan menjadi bahan pergunjingan masyarakat yang budiman. Meski seringkali dicemooh dan dibicarakan oleh masyarakat, Alkisah tetap menyerah untuk terus mencahari mata pencaharian sehari-hari. Bukan menyerah pada kemalasan, tapi apalah artinya memiliki mata pencaharian jika tanpa mata pencaharian, apa-apa yang dibutuhkannya sehari-hari telah terpenuhi tanpa harus mencahari-cahari. Meskipun dengan cara mengais-ngais makanan sisa bersama kucing dan kacung-kacung kota meski hanya kacang-kacangan. Sebuah kemalangan sejak lahir, Alkisah adalah seorang manusia yang kurang dalam pendengaran sehingga untungnya dia jadi tidak banyak mendengar cemoohan-cemoohan yang dilemparkan padanya oleh masyarakat yang rupawan, dan rupawati.

Tuhan Maha Adil, Alkisah yang tersisihkan dari masyarakat tidak dibiarkan sendirian dalam menempuh jalan sulit kehidupan, ia dianugerahi seorang sahabat karib yang sama tersisihkan. “Konon,” katanya saat diajak berkenalan waktu dulu oleh Alkisah dan, “Alkisah,” jawab Alkisah saat keduanya berjabat tangan dan kemudian memulai pencaharian makanan sisa di gang-gang kota metropolutan. Sayang seribu sayang, rupanya Konon juga memiliki kekurangan dalam kelancaran berbicara, atau gagap, sehingga untung baginya ia tak perlu susah-susah beretorika menjadi wakil rakyat demi sesuap nasi di parlemen kenegaraan.

“Namamu kok lucu, Mon. Kumon mah bukannya nama tempat belajar apa itu, tempat belajar anak orang kaya, kan, ya?” Alkisah bertanya karena penasaran.

“Heee, Ko… Non, Al. Nnn…namaku Kon…non. Bukan Kum..kum..mmon. Konon.”

“Yuk, deh. Mau ke mana lagi, Mon?”

“Ap..ap…aah.. Ke mana la..la..ggi apaan?”

“Katanya kemon. Ya ayo, mau ke mana kamu?”

“KONN…NN…NON! KONON! KONON, A…AA..AL! NAMAKU KONN…NON. BUKAN KUMM.KUMMMM..MMMMM…MMOOONNN! IH!”

“Ooooh, hehe, kukira kumon. Makanya yang jelas dong bicaranya. He he he,” Alkisah sambal nyengir.

“A…aa..aku emang agak gag..ggap, Al.”

“Aaaaaaaaaa………,” Alkisah membuka mulutnya lebar-lebar ke muka Konon.

“Aa…aaa..apaan, sih?”

“Hahanya huwuh wangaww hadi (re: katanya suruh mangap tadi).”

“Haha..haaa..hastaghfirullah! GAGAP! BUK..BUKK.,..BUBUBU…KKAN MANGAPP!”

Nggak konsisten nih,” Alkisah cemberut.

Konon menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil menghela napas panjang. Sama cemberut.

“Hehe. Jangan cemberut dong,” membujuk Konon agar tidak cemberut juga.

“Hmmm.”

“Jadi nggak, nih, Non? Mau ke mana?”

“Ap..app..apanya ke mana?”

“Kan mau kemon kita.”

Nah, Anda mesti sabar. Membuat tulisan yang seperti ini tidak semudah kelihatannya. Kelihatannya seperti mudah, tapi tidak. Saya harus sejak sebulan yang lalu bekerja membanting tulang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan desain saya agar saya dapat menyambung hidup dari bayaran yang saya dapat untuk sampai ke hari ini. Tidak hanya sampai di situ, saya juga mesti menghabiskan beberapa puluh ribu sore ini demi berbatang-batang rokok, dua gelas minuman, dan makanan yang saya beli agar saya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan tulisan saya ini demi cinta dan suka yang saya harapkan bersemi bagi Anda. Maka dari itu, mari kita kembali pada cerita antara Alkisah yang kurang mendengar dan Konon yang kurang lancar berbicara. Saya harap Anda sabar dan dapat tetap tersenyum dengan senantiasa manis selalu.
Malam telah tiba di kota metropolutan. Alkisah dan Konon sudah cukup kenyang karena mendapat beberapa makanan sisa dari seorang penjaga restoran yang baik hati mau menyisihkan beberapa bahan makanan di gang belakang restoran tempatnya bekerja. Meski tidak banyak, beberapa potong roti, daging, dan selada tentu patut disyukuri. Jika malam sudah terlalu, kedua sahabat karib ini kemudian akan mencari sebuah tempat yang dirasa cukup nyaman untuk sekedar menggelar beberapa lembar kardus yang mereka temukan sebelumnya sebagai alas tidur. Misalnya seperti mala mini, keduanya menemukan dan bersepakat bahwa sebuah teras kosong di depan toko obat yang telah tutup sebagai tempat untuk tidur yang cukup nyaman.

“Al,” Konon membuka pembicaraan.

Alkisah memandangi jalanan yang sudah sepi dan hanya sesekali dilewati kendaraan. Malam ini cerah dan tidak hujan. Suatu hal yang juga patut untuk disyukuri.

Konon mencondongkan badannya ke arah Alkisah, “AL!”

“Ya, Non?”

Oh, tidak kedengaran rupanya.

“Ge..gegege..geseran sss..se..sedikit, Al. Itu mm..masih lebar.”

Alkisah menghela napas dalam, “Konon, kawanku, konon…,”

“A..apa?”

“….katanya…”

Itu maksudnya Alkisah belum selesai bicara, ia ingin bercerita dengan pembukaan ‘konon katanya.’

“Ki..ki..kirain mang..gigi..gil.”

“Konon katanya, Tuhan itu Maha Adil, Non. Orang-orang kaya tidur di kasur yang empuk sementara kita tidur di atas kardus. Orang-orang kaya makan makanan yang enak-enak lalu mereka sementara kita makan makanan sisa dan nggak enak. Orang-orang kaya pakai baju-baju bagus yang bersih sementara kita pakai baju rombeng dan kotor. Tapi aku tetap percaya Tuhan Maha Adil itu bukan cuma konon katanya, Non.”

Konon mendengarkan Alkisah dengan seksama.

“Kamu tahu kenapa aku tetap percaya, Non?”

Enggak. Ken..ken..nappa?”

“Tahu nggak???”
Konon menghela napas, “ENGG…NGGG..GAK!” lalu berbisik setelahnya, “Ddd…dddass..sar budeg.”

“Aku percaya karena biar mereka tidur di kasur enak, kita tetep sama bisa tidur. Aku percaya karena biar mereka makan makanan enak, kita tetep sama bisa kenyang. Aku percaya karena biar baju mereka bagus dan bersih, kita tetep sama nggak telanjang di depan orang.”

“Ter..terus?”

“Artinya bukan itu yang nantinya menentukan kita manusia bener atau bukan, Non. Yang menentukan adalah gimana cara kita tetep bersyukur dengan apa yang kita punya dan tetep bersabar dengan keadaan. Aku percaya itu, dan aku ngerti banget itu, Non.”

“Mmm. Yaa, ter..ter..ruru…sss??” ngomong apa sebetulnya Alkisah ini, begitu pikirannya.

“Jadi tanpa harus kamu ingetin juga aku udah paham, Non. Aku mah pasti sabar. Pasti sabar. Pasti.”

Sabar? Sebentar. Saya rasa apa yang ada di pikiran Konon saat ini sama dengan apa yang ada di pikiran Anda. Ada yang salah di sini. Atau tidak ada? Tolong katakana pada saya dan pada Konon, adakah yang salah? Saya rasa, kawan kita, Alkisah yang kurang dalam pendengarannya ini lagi-lagi salah mendengar. Bukankah Anda juga berpikir demikian?

“AL!”

“Hmm?”

“AKU NGGG..NGGAK BILANG SAB..SS..SSABB..SABARRR!”

“A..AA..KKU BILANG: GESS..GESS..GESERAN SEDIKIT IT..ITTT..ITU MMMM…MASIH LEBAR, AL! LL…LEBAR, AL, LEBARRRRRR!”

“Oohh, bilang dong yang jelas dari tadi, Non.”

“Ah! Jan..nn..cuk!”

“Eh, aku laki-laki normal, Non. Masa kamu mau…”

“HALAH! JANN…NN…CUK, AL. JANCUK!”

“Siapa?”

“KAMU, AL, KAM..MU JAN..NN..CUK!”

“Ehh, kasar.”

“Ehh, bud…bud..deg!”

“Mau cari di mana? Bukan Jogja ini, Non. Baru juga tadi makan, mosok udah laper lagi.”

“BUDD..BUDD..BUDEG!”

“Yee, gagap!”

“EMM..EMM..MANG!”

Nyemplung,dong?”

“EEE…EEEMANGG GAGAP!”

“Ya, kan emang gagap dari tadi juga aku bilangnya.”

“KUPINGMU IT..ITTUU, RUS..RUSS..RUSS….RUSSS……RUU…RUUUU…SSSS….Halah, susah amat!”

“Hahahahahaha”

“Hahahahahaha”

“Nah, itu ketawa kok nggak macet? Haha.”

“Ha..ha..hh…haaa…ha…”

“Jangan dibikin macet, nanti macet betulan! Haha.”

Padahal itu Konon mau bicara, bukan ketawa macet.

“HAHH..HAA…HAA..HALAH MAKSUDNYA, AL!”

“Halah apanya?”

NGGAK TAU, AH!”

“Yeeeee.”

“Ti..ti…tidur, ah.”

“Ke mana lagi, udah tembok ini, Non.”

“TID..TII..DDUURRRR, BUKAN MUNN..NNN..NN..NNNNNN………….”

“Hmm??”
“…………”

“…………”

“NNNN….DUR! MUNDUR!”

“Iyaa, Konooonn. Mundur ke mana lagi ini udah tembok, Kononnn.”

“AL..ALLLL…ALLAHUAKBAR! ALLAHUAKBAR!”

“He! Subuh masih lama! Tidur dulu!”

“I…I…I…I…..III…..III……I……III…..”

“Ikan?”

“IIII………I………..III…I..I..II….III…………IIII….”

“Ini?” sambil menunjuk jaketnya.

“BBBB….BU…BU….BUKK…..BUKK….BUKBUKK…BUBUBU……BU……BBBBB….”

“Ha? Buku??”

“IIII…..III…I.I.I.I……I….IIIII….III…”

“Iya?” Alkisah menyodorkan buku yang dijadikan bantal, “Nih..”

“BU….BUBUBU…BBB…BUKKK..BUKKKK….KKKKK….”

“Iyaa, ini, buku. Bantal.”

Konon menjambak rambutnya sendiri tanda frustasi. Menggeleng-gelengkan kepalanya, “BUKAN!” terengah-engah dia.

“Terus apa dong maksudnya??”

“III…III..III.IIII….IIIYAA!”

“Iya apa? Buku, kan? Nih.”

“BUBUBU…BB…BUKKK…BUKKK…..”

“Ah, lama. Besok lagi aja. Hayu tidur.”

“NNN…NAHHH!” tangan Konon sambil menunjuk tegas.
Nah, apa? Alkisah menolehkan kepalanya pada Konon dengan wajah penuh tanya. Konon menggelangkan kepalanya dan berbaring dalam arti ‘ah, sudahlah. Lupakan saja.’

Alkisah lalu berbaring meringkuk membelakangi sahabatnya itu, “Jangan lupa berdoa, Non.”

Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut.

Alkisah menoleh heran. Ya itu Konon membaca doa dengan lancar dan sudah meringkuk membelakangi Alkisah. Alkisah tetap menoleh dalam diam, lalu kembali meringkuk, membaca doa sebelum tidur. Malam cerah, sepi sunyi. Hari ini, mesti disyukuri. Mengenai urusan disuka dan dicinta, saya harap Anda sudah memberikannya pada diri Anda sendiri dengan baik. Membuat Anda menjadi lebih tenang dan lebih baik dalam bersyukur. Demikian, semoga saya juga begitu.

Selamat beristirahat, kawan. Semoga senantiasa diliputi kedamaian.