Setelah rintik
terakhir air hujan di musim penghujan turun menyentuh bumi, musim ceri dimulai
esok harinya. Daun-daun yang basah oleh sisa hujan semalam kembali dibasahi
oleh embun pagi yang juga hinggap di buah-buah ceri yang warnanya masih hijau. Tapi
tentu tak akan lama lagi, buah-buah ceri yang warnanya hijau itu pelan-pelan
akan berubah kemerahan. Lalu tak akan lama sampai buah-buah ceri yang warnanya
kemerahan itu akan berubah menjadi buah-buah ceri yang warnanya merah matang,
ranum, segar, dan siap untuk dipetik dan dinikmati oleh anak-anak kecil yang
suka pada buah ceri yang sudah matang.
Namun hal itu tak
pernah sekalipun terjadi. Tak pernah ada anak-anak kecil datang kemari untuk
bermain atau memetik buah-buah ceri yang warnanya merah dan sudah matang. Kalaupun
ada beberapa anak yang lewat, mereka akan lewat sambil lari terbirit-birit
seperti melihat hantu. Mereka tak pernah singgah ke pohon ceri ini, katanya
karena ada aku di pohon ini. Tidak salah sebetulnya, karena memang di pokok
pohon ceri inilah aku tinggal, sejak, entahlah, tiga belas tahun setidaknya.
“Jangan main ke pohon
ceri di belakang sekolah,” katanya.
“Pohon cerinya
angker,” katanya.
“Ada hantunya!”
katanya.
“Hantunya anak
laki-laki,” katanya.
“Mati digantung
ibunya sendiri,” katanya.
“Pokoknya jangan
ke sana!” kata mereka semua.
Aku menjadi sangat
sedih mendengar semuanya itu. Mengapa mereka harus mengatakan itu semua. Mengapa
mereka harus merasa perlu mengarang cerita yang begitu mengerikan, tentang
ibuku. Ibuku bukanlah perempuan yang jahat hingga tega meninggalkanku di sebuah
pohon ceri di antah berantah. Aku merasa sedih.
Dulu sekali, aku
sudah suka makan buah ceri yang manis. Aku makan buah ceri yang manis bersama
ayah dan ibu yang sayang padaku. Di pekarangan rumahku dulu ada sepokok pohon
ceri yang disukai oleh anak-anak di sekitar rumahku. Setelah musim hujan
berhenti membasahi bumi, ayahku mengajakku naik ke atas pohon untuk memetik
buah-buah ceri yang warnanya merah dan matang. Jika anak-anak lain datang,
ayahku akan baik pada mereka degan mengizinkan
mereka untuk ikut bertengger di dahan-dahan pokok pohon ceri. Karena itu
aku menjadi senang dan punya banyak teman.
Tapi tidak
sekarang. Sekarang aku hanya seorang anak laki-laki yang sedih dan kesepian. Hantu,
kata mereka di luar sana.
-
Kurang lebih, tiga belas tahun yang lalu.
Waktu itu maghrib
sedang menjelang. Kata ayah dan ibu, kami bertiga akan pergi ke luar kota, ke
rumah nenek di Bandung. Detelah semua barang disiapkan, kami pun mulai melaju
dengan mobil sedan milik ayah. Aku duduk di belakang dan mulai mengantuk,
memasuki gerbang tol, seingatku aku sudah berbaring dan tertidur.
Entah pukul
berapa, aku tetiba terbangun dari tidurku. Tak kudapati diriku di jok belakang
mobil ayah. Kudapati diriku tengah terbaring di antara semak belukar beralas
tanah dan batuan yang amat kasar. Aku mencoba untuk berdiri perlahan namun
seketika aku tercekat. Saat aku berdiri, aku melihat tubuhku sendiri terbujur
kaku dan masih terbaring di antara semak belukar, bersimbah darah di kepala. Aku
kebingungan, gemetaran. Tak ada ayah dan ibu di manapun. Aku mulai menangis,
tanpa suara, duduk di samping tubuhku yang terbujur kaku.
Tak lama hujan pun
turun. Aku berjalan menjauh tanpa arah sampai menemukan sebuah pohon dan
berteduh hingga tiga belas tahun lamanya.
-
Sekarang sudah
malam hari. Jika masih siang, di bawah pokok pohon ceri ini berserakan
buah-buah ceri yang matang dan tak termakan, betapa sia-sia, karena sekarang
aku juga sudah tidak bisa makan buah ceri seperti dulu. Juga karena tidak ada
seorang anak pun yang mau mampir kemari, kan ada aku, ada hantu.
Malam ini sedang
terang bulan. Atap-atap sekolahan yang usang terlihat bisu terpapar cahaya
malam. Kelelawar-kelelawar yang mencuri buah-buah ceri yang masih bergelantung
terlihat terbang sekelebat. Padang ilalang yang tinggi dan semak belukar yang
terbentang di belakang pokok pohon ceri dapat kuamati lebih jelas. Sampai mataku
terkunci pada sesosok anak kecil yang tengah berjalan linglung di tengah-tengah
padang yang membentang. Aku beringsut menyembunyikan diri ke puncak pokok pohon
ceri sembari memicingkan mata mengamati sosok kecil yang nampaknya berjalan
semakin dekat ke arah pokok pohon ceri.
Seorang anak
perempuan, ia berjalan layu sambil memeluk sebuah boneka kecil. Ia menangis
tanpa suara saat tiba tepat di bawah pokok pohon ceri, duduk di atas tanah sambil bersandar ke
pokok pohon ceri, memeluk lutut dan boneka kecilnya. Rambutnya pendek sebahu
dan agak kemerahan karena noda darah dari kepalanya. Aku menyentuh kepalaku sendiri,
sama berdarah. Aku bisu sebisu-bisunya. Kulayangkan pandanganku ke arah padang
ilalang dan semak belukar yang disinari sinar rembulan, arah datangnya anak
perempuan ini. Nun jauh di sana, lampu-lampu kendaraan terlihat seperti barisan
semut yang tak bergerak. Sementara di ujung terdepan barisan semut itu tampak
setitik api berkobar dan asap yang mengepul ke udara.
Aku tak menyadari
air mata yang mengalir di pipiku. Pandanganku mengabur oleh air mata yang tak
tertahankan. Ayah. Ibu. Aku lalu
menyeka air mataku yang mulai menetes. Kembali kuamati anak perempuan yang ada
di bawahku. Pelan-pelan aku turun ke dahan yang lebih rendah dengan sangat
hati-hati. Aku tak mau mengejutkannya.
“Hei,” kuasapa ia
pelan.
Ia mendongak ke
arahku. Terkejut dan ketakutan setengah mati, namun juga penuh kebingungan.
“Di mana ayah dan
ibumu?” tanyaku.
Anak perempuan ini
cantik. Berlinang air mata. Bersimbah darah.
Ia menggelengkan
kepalanya. Pelan. Menangis tanpa suara.
Aku mengulurkan
tanganku perlahan. Aku tersenyum.
No comments:
Post a Comment
komennya yang asik-asik aja ya frend...hhe.