Monday, 16 December 2019

POKOK POHON CERI, Minggu, 15 Desember 2019


Setelah rintik terakhir air hujan di musim penghujan turun menyentuh bumi, musim ceri dimulai esok harinya. Daun-daun yang basah oleh sisa hujan semalam kembali dibasahi oleh embun pagi yang juga hinggap di buah-buah ceri yang warnanya masih hijau. Tapi tentu tak akan lama lagi, buah-buah ceri yang warnanya hijau itu pelan-pelan akan berubah kemerahan. Lalu tak akan lama sampai buah-buah ceri yang warnanya kemerahan itu akan berubah menjadi buah-buah ceri yang warnanya merah matang, ranum, segar, dan siap untuk dipetik dan dinikmati oleh anak-anak kecil yang suka pada buah ceri yang sudah matang.

Namun hal itu tak pernah sekalipun terjadi. Tak pernah ada anak-anak kecil datang kemari untuk bermain atau memetik buah-buah ceri yang warnanya merah dan sudah matang. Kalaupun ada beberapa anak yang lewat, mereka akan lewat sambil lari terbirit-birit seperti melihat hantu. Mereka tak pernah singgah ke pohon ceri ini, katanya karena ada aku di pohon ini. Tidak salah sebetulnya, karena memang di pokok pohon ceri inilah aku tinggal, sejak, entahlah, tiga belas tahun setidaknya.

“Jangan main ke pohon ceri di belakang sekolah,” katanya.

“Pohon cerinya angker,” katanya.

“Ada hantunya!” katanya.

“Hantunya anak laki-laki,” katanya.

“Mati digantung ibunya sendiri,” katanya.

“Pokoknya jangan ke sana!” kata mereka semua.

Aku menjadi sangat sedih mendengar semuanya itu. Mengapa mereka harus mengatakan itu semua. Mengapa mereka harus merasa perlu mengarang cerita yang begitu mengerikan, tentang ibuku. Ibuku bukanlah perempuan yang jahat hingga tega meninggalkanku di sebuah pohon ceri di antah berantah. Aku merasa sedih.

Dulu sekali, aku sudah suka makan buah ceri yang manis. Aku makan buah ceri yang manis bersama ayah dan ibu yang sayang padaku. Di pekarangan rumahku dulu ada sepokok pohon ceri yang disukai oleh anak-anak di sekitar rumahku. Setelah musim hujan berhenti membasahi bumi, ayahku mengajakku naik ke atas pohon untuk memetik buah-buah ceri yang warnanya merah dan matang. Jika anak-anak lain datang, ayahku akan baik pada mereka degan mengizinkan  mereka untuk ikut bertengger di dahan-dahan pokok pohon ceri. Karena itu aku menjadi senang dan punya banyak teman.

Tapi tidak sekarang. Sekarang aku hanya seorang anak laki-laki yang sedih dan kesepian. Hantu, kata mereka di luar sana.

-

Kurang lebih, tiga belas tahun yang lalu.

Waktu itu maghrib sedang menjelang. Kata ayah dan ibu, kami bertiga akan pergi ke luar kota, ke rumah nenek di Bandung. Detelah semua barang disiapkan, kami pun mulai melaju dengan mobil sedan milik ayah. Aku duduk di belakang dan mulai mengantuk, memasuki gerbang tol, seingatku aku sudah berbaring dan tertidur.

Entah pukul berapa, aku tetiba terbangun dari tidurku. Tak kudapati diriku di jok belakang mobil ayah. Kudapati diriku tengah terbaring di antara semak belukar beralas tanah dan batuan yang amat kasar. Aku mencoba untuk berdiri perlahan namun seketika aku tercekat. Saat aku berdiri, aku melihat tubuhku sendiri terbujur kaku dan masih terbaring di antara semak belukar, bersimbah darah di kepala. Aku kebingungan, gemetaran. Tak ada ayah dan ibu di manapun. Aku mulai menangis, tanpa suara, duduk di samping tubuhku yang terbujur kaku.

Tak lama hujan pun turun. Aku berjalan menjauh tanpa arah sampai menemukan sebuah pohon dan berteduh hingga tiga belas tahun lamanya.

-

Sekarang sudah malam hari. Jika masih siang, di bawah pokok pohon ceri ini berserakan buah-buah ceri yang matang dan tak termakan, betapa sia-sia, karena sekarang aku juga sudah tidak bisa makan buah ceri seperti dulu. Juga karena tidak ada seorang anak pun yang mau mampir kemari, kan ada aku, ada hantu.

Malam ini sedang terang bulan. Atap-atap sekolahan yang usang terlihat bisu terpapar cahaya malam. Kelelawar-kelelawar yang mencuri buah-buah ceri yang masih bergelantung terlihat terbang sekelebat. Padang ilalang yang tinggi dan semak belukar yang terbentang di belakang pokok pohon ceri dapat kuamati lebih jelas. Sampai mataku terkunci pada sesosok anak kecil yang tengah berjalan linglung di tengah-tengah padang yang membentang. Aku beringsut menyembunyikan diri ke puncak pokok pohon ceri sembari memicingkan mata mengamati sosok kecil yang nampaknya berjalan semakin dekat ke arah pokok pohon ceri.

Seorang anak perempuan, ia berjalan layu sambil memeluk sebuah boneka kecil. Ia menangis tanpa suara saat tiba tepat di bawah pokok pohon  ceri, duduk di atas tanah sambil bersandar ke pokok pohon ceri, memeluk lutut dan boneka kecilnya. Rambutnya pendek sebahu dan agak kemerahan karena noda darah dari kepalanya. Aku menyentuh kepalaku sendiri, sama berdarah. Aku bisu sebisu-bisunya. Kulayangkan pandanganku ke arah padang ilalang dan semak belukar yang disinari sinar rembulan, arah datangnya anak perempuan ini. Nun jauh di sana, lampu-lampu kendaraan terlihat seperti barisan semut yang tak bergerak. Sementara di ujung terdepan barisan semut itu tampak setitik api berkobar dan asap yang mengepul ke udara.

Aku tak menyadari air mata yang mengalir di pipiku. Pandanganku mengabur oleh air mata yang tak tertahankan. Ayah. Ibu. Aku lalu menyeka air mataku yang mulai menetes. Kembali kuamati anak perempuan yang ada di bawahku. Pelan-pelan aku turun ke dahan yang lebih rendah dengan sangat hati-hati. Aku tak mau mengejutkannya.
“Hei,” kuasapa ia pelan.

Ia mendongak ke arahku. Terkejut dan ketakutan setengah mati, namun juga penuh kebingungan.

“Di mana ayah dan ibumu?” tanyaku.

Anak perempuan ini cantik. Berlinang air mata. Bersimbah darah.

Ia menggelengkan kepalanya. Pelan. Menangis tanpa suara.

Aku mengulurkan tanganku perlahan. Aku tersenyum.


No comments:

Post a Comment

komennya yang asik-asik aja ya frend...hhe.