Apa yang diinginkan oleh banyak manusia di muka bumi ini?
Banyak. Satu saja, Anda, apa yang Anda inginkan di muka numi ini? Banyak,
bukan? Bukan, bukan salah jika Anda berkeinginan demikian. Anda dan
manusia-manusia di bumi sama ingin dicinta dan disuka oleh yang lainnya. Akan
tetapi, bagaimana mungkin Anda akan dicinta dan disuka jika Anda tidak berbuat
sesuatu, atau satu dua hal yang bias dicinta dan disuka. Berpenampilan menarik
mungkin akan mendatangkan beberapa cinta dan suka terhadap Anda, tapi tentang
berbuat satu atau dua hal yang menentukan seberapa kekal cinta dan suka yang
datang pada Anda. Satu dua hal yang Anda perbuat tersebut selanjutnya harus
diukur dari seberapa jauh perbuatan itu berdampak terhadap dunia, dan seberapa
kekal ia akan hidup bersama waktu. Maksud saya, apakah perbuatan tersebut mampu
berdampak, hidup, dan dikenang sepanjang masa. Atau mungkin beberapa hari saja
atau bahkan kurang.
Selain berbuat, mencipta satu atau dua hal juga tentu saja
akan mungkin membawakan anda beberapa cinta atau suka. Kecuali perbuatan Anda
memiliki dampak yang dapat dirasakan hamper separuh populasi manusia di muka
bumi ini, apa yang Anda cipta memungkinkan Anda mendapatkan cinta dan suka yang
hidup lebih lama hidup bersama waktu ketimbang satu dua hal yang Anda perbuat
dengan perilaku. Meski demikian, pada dasarnya, mencipta juga merupakan sebuah
perbuatan juga, kan. Tapi dengan mencipta, Anda melahirkan sebuah ciptaan Anda,
sebuah karya, yang memiliki potensi masa hidup mungkin lebih lama dari masa
hidup yang Anda miliki di bumi kita ini.
Sebagai manusia yang menulis dan menyampaikan ide berbuat
dan mencipta kepada Anda, saya juga berusaha untuk sebisa mungkin berbuat,
utamanya mencipta. Apa yang kemudian saya atau Anda cipta haruslah memiliki
sebuah unsur orisinalitas yang absolut dan berdiri sendiri. Apa yang Anda cipta
mungkin saja terinspirasi dari berbagai pengalaman yang ada, baik pengalaman
visual, virtual, imajiner, atau juga pengalaman supranatural yang terjadi pada Anda
atau terjadi di sekitar Anda. Namun, orisilnalitas itu harus berdiri sendiri di
atas hasil berpikir Anda sebagai manusia. Orisinalitas dari apa yang Anda cipta
mestilah lahir dari rahim pikiran Anda sendiri. Seperti berkembang biak atau
beranak pinak, anak yang lahir dari Anda adalah murni darah daging Anda, dengan
identitas biologis, karakter psikologis Anda sendiri.
Gagasan tentang berbuat dan mencipta tersebut pada
akhirnya, sore ini membawa saya untuk hadir ke sebuah kedai kopi yang tidak
jauh dari tempat saya tinggal. Di kedai tersebut saya memesan sebuah minuman
dingin berbahan dasar limun, bukan kopi. Rasanya saya sedang tidak ingin minum
kopi hari ini karena saya terserang sariawan yang perih jika terkena cairan
kopi. Apakah Anda pernah juga merasakan sariawan? Dan perih ketika Anda minum
kopi? Bagaimanapun, saya sudah duduk di kursi. Meja saya dengan cepat dipenuhi
oleh gelas minuman limun, asbak, sebungkus rokok, pemantik, dan lainnya. Saya
cukup bingung di awal saya mulai duduk. Saya bingung dengan tidak adanya
gagasan tentang apapun di kepala saya. Sehingga saya hanya duduk, menikmati
minuman dan beberapa batang rokok di kedai kopi.
Saya merasakan sebuah perasaan cemas ketika saya duduk dan
tidak memiliki gagasan ketika saya sedang ingin menulis sesuatu. Saya merasa
cemas jika tidak berbuat dan mencipta saya tidak akan mendapatkan cinta dan
suka yang sama diinginkan oleh banyak manusia di muka bumi ini. Saya, juga sama
menginginkan hal itu. Maka saya harus mencipta sesuatu sore ini, mala mini,
menulis sesuatu. Semakin keras saya berpikir dengan serius untuk menemukan
sebuah gagasan untuk ditulis, gagasan yang akan datang rasanya justru malah
semakin menjauh dari pikiran saya. Saya kemudian menjadi semakin cemas. Saya
mencemaskan kapasitas pikiran saya yang mungkin sudah tidak mampu lagi untuk
menjadi kreatif dan mampu untuk mencipta sesuatu. Tapi saya tidak ingin
terjebak dalam pemikiran cemas negatif yang kontra produktif tersebut. Sehingga
saya mencoba untuk berpikir tentang bagaimana cara menemukan gagasan dengan
cara lain. Saya pikir, sampai pada paragraf yang saya tulis ini, saya terlalu
serius dan sok filosofis. Saya rasa saya harus menggunakan sebuah pendekatan
yang lebih ringan, lebih santai, dan tidak serius. Apakah Anda juga berpikir demikian?
Apakah Anda menyukai hal-hal ringan yang tidak serius? Yang lebih menghibur dan
tidak membebani otak Anda untuk berpikir lebih keras di luar pekerjaan Anda?
Saya mencipta agar Anda cinta dan suka kepada saya, atau kepada apa yang saya
cipta, dan Anda tidak memiliki tanggung jawab yang sama seperti yang saya punya
agar apa yang saya cipta membuat Anda menjadi cinta dan suka terhadap saya,
begitu? Sehingga biarlah berpikir menjadi urusan saya. Namun agar bisa memberi
Anda perasaan cinta dan suka, tentu saya juga harus berpikir dalam keadaan
perasaan yang sama cinta dan suka untuk Anda. Setujukah Anda? Bagaimana dengan
komedi? Apakah Anda menyukai komedi? Atau anekdot, atau lelucon ringan yang
membuat Anda setidaknya tersenyum sendiri. Sukakah Anda? Baiklah, saya akan
menuliskan sebuah ciptaan yang bernuansa komedi yang ringan. Saya juga ingin
sama bahagia dalam menulis bersama Anda yang mudah-mudahan bahagia dalam
membaca.
Begini ceritanya,
Alkisah, adalah nama seorang laki-laki dewasa berumur dua puluhan
yang tidak punya mata pencaharian tetap dan menjadi bahan pergunjingan
masyarakat yang budiman. Meski seringkali dicemooh dan dibicarakan oleh
masyarakat, Alkisah tetap menyerah untuk terus mencahari mata pencaharian
sehari-hari. Bukan menyerah pada kemalasan, tapi apalah artinya memiliki mata
pencaharian jika tanpa mata pencaharian, apa-apa yang dibutuhkannya sehari-hari
telah terpenuhi tanpa harus mencahari-cahari. Meskipun dengan cara
mengais-ngais makanan sisa bersama kucing dan kacung-kacung kota meski hanya
kacang-kacangan. Sebuah kemalangan sejak lahir, Alkisah adalah seorang manusia
yang kurang dalam pendengaran sehingga untungnya dia jadi tidak banyak
mendengar cemoohan-cemoohan yang dilemparkan padanya oleh masyarakat yang
rupawan, dan rupawati.
Tuhan Maha Adil, Alkisah yang tersisihkan dari masyarakat
tidak dibiarkan sendirian dalam menempuh jalan sulit kehidupan, ia dianugerahi
seorang sahabat karib yang sama tersisihkan. “Konon,” katanya saat diajak berkenalan
waktu dulu oleh Alkisah dan, “Alkisah,” jawab Alkisah saat keduanya berjabat
tangan dan kemudian memulai pencaharian makanan sisa di gang-gang kota
metropolutan. Sayang seribu sayang, rupanya Konon juga memiliki kekurangan
dalam kelancaran berbicara, atau gagap, sehingga untung baginya ia tak perlu
susah-susah beretorika menjadi wakil rakyat demi sesuap nasi di parlemen
kenegaraan.
“Namamu kok lucu, Mon. Kumon mah bukannya nama tempat belajar apa itu, tempat belajar anak orang
kaya, kan, ya?” Alkisah bertanya karena penasaran.
“Heee, Ko… Non, Al. Nnn…namaku Kon…non. Bukan
Kum..kum..mmon. Konon.”
“Yuk, deh. Mau ke mana lagi, Mon?”
“Ap..ap…aah.. Ke mana la..la..ggi apaan?”
“Katanya kemon.
Ya ayo, mau ke mana kamu?”
“KONN…NN…NON! KONON! KONON, A…AA..AL! NAMAKU KONN…NON.
BUKAN KUMM.KUMMMM..MMMMM…MMOOONNN! IH!”
“Ooooh, hehe, kukira kumon. Makanya yang jelas dong
bicaranya. He he he,” Alkisah sambal nyengir.
“A…aa..aku emang agak gag..ggap, Al.”
“Aaaaaaaaaa………,” Alkisah membuka mulutnya lebar-lebar ke
muka Konon.
“Aa…aaa..apaan, sih?”
“Hahanya huwuh wangaww hadi (re: katanya suruh mangap tadi).”
“Haha..haaa..hastaghfirullah! GAGAP!
BUK..BUKK.,..BUBUBU…KKAN MANGAPP!”
“Nggak konsisten
nih,” Alkisah cemberut.
Konon menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil
menghela napas panjang. Sama cemberut.
“Hehe. Jangan cemberut dong,” membujuk Konon agar tidak
cemberut juga.
“Hmmm.”
“Jadi nggak, nih,
Non? Mau ke mana?”
“Ap..app..apanya ke mana?”
“Kan mau kemon
kita.”
Nah, Anda mesti sabar. Membuat tulisan yang seperti ini
tidak semudah kelihatannya. Kelihatannya seperti mudah, tapi tidak. Saya harus
sejak sebulan yang lalu bekerja membanting tulang mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan desain saya agar saya dapat menyambung hidup dari bayaran
yang saya dapat untuk sampai ke hari ini. Tidak hanya sampai di situ, saya juga
mesti menghabiskan beberapa puluh ribu sore ini demi berbatang-batang rokok,
dua gelas minuman, dan makanan yang saya beli agar saya tidak kelaparan dan tetap
bisa melanjutkan tulisan saya ini demi cinta dan suka yang saya harapkan
bersemi bagi Anda. Maka dari itu, mari kita kembali pada cerita antara Alkisah
yang kurang mendengar dan Konon yang kurang lancar berbicara. Saya harap Anda
sabar dan dapat tetap tersenyum dengan senantiasa manis selalu.
Malam telah tiba di kota metropolutan. Alkisah dan Konon
sudah cukup kenyang karena mendapat beberapa makanan sisa dari seorang penjaga
restoran yang baik hati mau menyisihkan beberapa bahan makanan di gang belakang
restoran tempatnya bekerja. Meski tidak banyak, beberapa potong roti, daging,
dan selada tentu patut disyukuri. Jika malam sudah terlalu, kedua sahabat karib
ini kemudian akan mencari sebuah tempat yang dirasa cukup nyaman untuk sekedar
menggelar beberapa lembar kardus yang mereka temukan sebelumnya sebagai alas
tidur. Misalnya seperti mala mini, keduanya menemukan dan bersepakat bahwa
sebuah teras kosong di depan toko obat yang telah tutup sebagai tempat untuk
tidur yang cukup nyaman.
“Al,” Konon membuka pembicaraan.
Alkisah memandangi jalanan yang sudah sepi dan hanya
sesekali dilewati kendaraan. Malam ini cerah dan tidak hujan. Suatu hal yang
juga patut untuk disyukuri.
Konon mencondongkan badannya ke arah Alkisah, “AL!”
“Ya, Non?”
Oh, tidak kedengaran rupanya.
“Ge..gegege..geseran sss..se..sedikit, Al. Itu mm..masih
lebar.”
Alkisah menghela napas dalam, “Konon, kawanku, konon…,”
“A..apa?”
“….katanya…”
Itu maksudnya Alkisah belum selesai bicara, ia ingin
bercerita dengan pembukaan ‘konon katanya.’
“Ki..ki..kirain mang..gigi..gil.”
“Konon katanya, Tuhan itu Maha Adil, Non. Orang-orang kaya
tidur di kasur yang empuk sementara kita tidur di atas kardus. Orang-orang kaya
makan makanan yang enak-enak lalu mereka sementara kita makan makanan sisa dan nggak enak. Orang-orang kaya pakai
baju-baju bagus yang bersih sementara kita pakai baju rombeng dan kotor. Tapi
aku tetap percaya Tuhan Maha Adil itu bukan cuma konon katanya, Non.”
Konon mendengarkan Alkisah dengan seksama.
“Kamu tahu kenapa aku tetap percaya, Non?”
“Enggak.
Ken..ken..nappa?”
“Tahu nggak???”
Konon menghela napas, “ENGG…NGGG..GAK!”
lalu berbisik setelahnya, “Ddd…dddass..sar budeg.”
“Aku percaya karena biar mereka tidur di kasur enak, kita
tetep sama bisa tidur. Aku percaya karena biar mereka makan makanan enak, kita
tetep sama bisa kenyang. Aku percaya karena biar baju mereka bagus dan bersih,
kita tetep sama nggak telanjang di
depan orang.”
“Ter..terus?”
“Artinya bukan itu yang nantinya menentukan kita manusia bener atau bukan, Non. Yang menentukan
adalah gimana cara kita tetep bersyukur dengan apa yang kita punya dan tetep
bersabar dengan keadaan. Aku percaya itu, dan aku ngerti banget itu, Non.”
“Mmm. Yaa, ter..ter..ruru…sss??” ngomong apa sebetulnya Alkisah
ini, begitu pikirannya.
“Jadi tanpa harus kamu ingetin juga aku udah paham, Non.
Aku mah pasti sabar. Pasti sabar.
Pasti.”
Sabar? Sebentar. Saya rasa apa yang ada di pikiran Konon
saat ini sama dengan apa yang ada di pikiran Anda. Ada yang salah di sini. Atau
tidak ada? Tolong katakana pada saya dan pada Konon, adakah yang salah? Saya
rasa, kawan kita, Alkisah yang kurang dalam pendengarannya ini lagi-lagi salah
mendengar. Bukankah Anda juga berpikir demikian?
“AL!”
“Hmm?”
“AKU NGGG..NGGAK BILANG
SAB..SS..SSABB..SABARRR!”
“A..AA..KKU BILANG: GESS..GESS..GESERAN SEDIKIT
IT..ITTT..ITU MMMM…MASIH LEBAR, AL! LL…LEBAR, AL, LEBARRRRRR!”
“Oohh, bilang dong yang jelas dari tadi, Non.”
“Ah! Jan..nn..cuk!”
“Eh, aku laki-laki normal, Non. Masa kamu mau…”
“HALAH! JANN…NN…CUK, AL. JANCUK!”
“Siapa?”
“KAMU, AL, KAM..MU JAN..NN..CUK!”
“Ehh, kasar.”
“Ehh, bud…bud..deg!”
“Mau cari di mana? Bukan Jogja ini, Non. Baru juga tadi
makan, mosok udah laper lagi.”
“BUDD..BUDD..BUDEG!”
“Yee, gagap!”
“EMM..EMM..MANG!”
“Nyemplung,dong?”
“EEE…EEEMANGG GAGAP!”
“Ya, kan emang gagap dari tadi juga aku bilangnya.”
“KUPINGMU IT..ITTUU,
RUS..RUSS..RUSS….RUSSS……RUU…RUUUU…SSSS….Halah, susah amat!”
“Hahahahahaha”
“Hahahahahaha”
“Nah, itu ketawa kok nggak
macet? Haha.”
“Ha..ha..hh…haaa…ha…”
“Jangan dibikin macet, nanti macet betulan! Haha.”
Padahal itu Konon mau bicara, bukan ketawa macet.
“HAHH..HAA…HAA..HALAH MAKSUDNYA, AL!”
“Halah apanya?”
“NGGAK TAU, AH!”
“Yeeeee.”
“Ti..ti…tidur, ah.”
“Ke mana lagi, udah tembok ini, Non.”
“TID..TII..DDUURRRR, BUKAN MUNN..NNN..NN..NNNNNN………….”
“Hmm??”
“…………”
“…………”
“NNNN….DUR! MUNDUR!”
“Iyaa, Konooonn. Mundur ke mana lagi ini udah tembok,
Kononnn.”
“AL..ALLLL…ALLAHUAKBAR! ALLAHUAKBAR!”
“He! Subuh masih lama! Tidur dulu!”
“I…I…I…I…..III…..III……I……III…..”
“Ikan?”
“IIII………I………..III…I..I..II….III…………IIII….”
“Ini?” sambil menunjuk jaketnya.
“BBBB….BU…BU….BUKK…..BUKK….BUKBUKK…BUBUBU……BU……BBBBB….”
“Ha? Buku??”
“IIII…..III…I.I.I.I……I….IIIII….III…”
“Iya?” Alkisah menyodorkan buku yang dijadikan bantal,
“Nih..”
“BU….BUBUBU…BBB…BUKKK..BUKKKK….KKKKK….”
“Iyaa, ini, buku. Bantal.”
Konon menjambak rambutnya sendiri tanda frustasi.
Menggeleng-gelengkan kepalanya, “BUKAN!” terengah-engah dia.
“Terus apa dong maksudnya??”
“III…III..III.IIII….IIIYAA!”
“Iya apa? Buku, kan? Nih.”
“BUBUBU…BB…BUKKK…BUKKK…..”
“Ah, lama. Besok lagi aja. Hayu tidur.”
“NNN…NAHHH!” tangan Konon sambil menunjuk tegas.
Nah, apa? Alkisah menolehkan kepalanya pada Konon dengan
wajah penuh tanya. Konon menggelangkan kepalanya dan berbaring dalam arti ‘ah,
sudahlah. Lupakan saja.’
Alkisah lalu berbaring meringkuk membelakangi sahabatnya
itu, “Jangan lupa berdoa, Non.”
“Bismika Allahumma
ahyaa wa bismika amuut.”
Alkisah menoleh heran. Ya itu Konon membaca doa dengan
lancar dan sudah meringkuk membelakangi Alkisah. Alkisah tetap menoleh dalam
diam, lalu kembali meringkuk, membaca doa sebelum tidur. Malam cerah, sepi
sunyi. Hari ini, mesti disyukuri. Mengenai urusan disuka dan dicinta, saya
harap Anda sudah memberikannya pada diri Anda sendiri dengan baik. Membuat Anda
menjadi lebih tenang dan lebih baik dalam bersyukur. Demikian, semoga saya juga
begitu.
Selamat beristirahat, kawan. Semoga senantiasa diliputi
kedamaian.
No comments:
Post a Comment
komennya yang asik-asik aja ya frend...hhe.