Wednesday, 10 April 2019

KOMEDI ALKISAH



Apa yang diinginkan oleh banyak manusia di muka bumi ini? Banyak. Satu saja, Anda, apa yang Anda inginkan di muka numi ini? Banyak, bukan? Bukan, bukan salah jika Anda berkeinginan demikian. Anda dan manusia-manusia di bumi sama ingin dicinta dan disuka oleh yang lainnya. Akan tetapi, bagaimana mungkin Anda akan dicinta dan disuka jika Anda tidak berbuat sesuatu, atau satu dua hal yang bias dicinta dan disuka. Berpenampilan menarik mungkin akan mendatangkan beberapa cinta dan suka terhadap Anda, tapi tentang berbuat satu atau dua hal yang menentukan seberapa kekal cinta dan suka yang datang pada Anda. Satu dua hal yang Anda perbuat tersebut selanjutnya harus diukur dari seberapa jauh perbuatan itu berdampak terhadap dunia, dan seberapa kekal ia akan hidup bersama waktu. Maksud saya, apakah perbuatan tersebut mampu berdampak, hidup, dan dikenang sepanjang masa. Atau mungkin beberapa hari saja atau bahkan kurang.

Selain berbuat, mencipta satu atau dua hal juga tentu saja akan mungkin membawakan anda beberapa cinta atau suka. Kecuali perbuatan Anda memiliki dampak yang dapat dirasakan hamper separuh populasi manusia di muka bumi ini, apa yang Anda cipta memungkinkan Anda mendapatkan cinta dan suka yang hidup lebih lama hidup bersama waktu ketimbang satu dua hal yang Anda perbuat dengan perilaku. Meski demikian, pada dasarnya, mencipta juga merupakan sebuah perbuatan juga, kan. Tapi dengan mencipta, Anda melahirkan sebuah ciptaan Anda, sebuah karya, yang memiliki potensi masa hidup mungkin lebih lama dari masa hidup yang Anda miliki di bumi kita ini.

Sebagai manusia yang menulis dan menyampaikan ide berbuat dan mencipta kepada Anda, saya juga berusaha untuk sebisa mungkin berbuat, utamanya mencipta. Apa yang kemudian saya atau Anda cipta haruslah memiliki sebuah unsur orisinalitas yang absolut dan berdiri sendiri. Apa yang Anda cipta mungkin saja terinspirasi dari berbagai pengalaman yang ada, baik pengalaman visual, virtual, imajiner, atau juga pengalaman supranatural yang terjadi pada Anda atau terjadi di sekitar Anda. Namun, orisilnalitas itu harus berdiri sendiri di atas hasil berpikir Anda sebagai manusia. Orisinalitas dari apa yang Anda cipta mestilah lahir dari rahim pikiran Anda sendiri. Seperti berkembang biak atau beranak pinak, anak yang lahir dari Anda adalah murni darah daging Anda, dengan identitas biologis, karakter psikologis Anda sendiri.

Gagasan tentang berbuat dan mencipta tersebut pada akhirnya, sore ini membawa saya untuk hadir ke sebuah kedai kopi yang tidak jauh dari tempat saya tinggal. Di kedai tersebut saya memesan sebuah minuman dingin berbahan dasar limun, bukan kopi. Rasanya saya sedang tidak ingin minum kopi hari ini karena saya terserang sariawan yang perih jika terkena cairan kopi. Apakah Anda pernah juga merasakan sariawan? Dan perih ketika Anda minum kopi? Bagaimanapun, saya sudah duduk di kursi. Meja saya dengan cepat dipenuhi oleh gelas minuman limun, asbak, sebungkus rokok, pemantik, dan lainnya. Saya cukup bingung di awal saya mulai duduk. Saya bingung dengan tidak adanya gagasan tentang apapun di kepala saya. Sehingga saya hanya duduk, menikmati minuman dan beberapa batang rokok di kedai kopi.

Saya merasakan sebuah perasaan cemas ketika saya duduk dan tidak memiliki gagasan ketika saya sedang ingin menulis sesuatu. Saya merasa cemas jika tidak berbuat dan mencipta saya tidak akan mendapatkan cinta dan suka yang sama diinginkan oleh banyak manusia di muka bumi ini. Saya, juga sama menginginkan hal itu. Maka saya harus mencipta sesuatu sore ini, mala mini, menulis sesuatu. Semakin keras saya berpikir dengan serius untuk menemukan sebuah gagasan untuk ditulis, gagasan yang akan datang rasanya justru malah semakin menjauh dari pikiran saya. Saya kemudian menjadi semakin cemas. Saya mencemaskan kapasitas pikiran saya yang mungkin sudah tidak mampu lagi untuk menjadi kreatif dan mampu untuk mencipta sesuatu. Tapi saya tidak ingin terjebak dalam pemikiran cemas negatif yang kontra produktif tersebut. Sehingga saya mencoba untuk berpikir tentang bagaimana cara menemukan gagasan dengan cara lain. Saya pikir, sampai pada paragraf yang saya tulis ini, saya terlalu serius dan sok filosofis. Saya rasa saya harus menggunakan sebuah pendekatan yang lebih ringan, lebih santai, dan tidak serius. Apakah Anda juga berpikir demikian? Apakah Anda menyukai hal-hal ringan yang tidak serius? Yang lebih menghibur dan tidak membebani otak Anda untuk berpikir lebih keras di luar pekerjaan Anda? Saya mencipta agar Anda cinta dan suka kepada saya, atau kepada apa yang saya cipta, dan Anda tidak memiliki tanggung jawab yang sama seperti yang saya punya agar apa yang saya cipta membuat Anda menjadi cinta dan suka terhadap saya, begitu? Sehingga biarlah berpikir menjadi urusan saya. Namun agar bisa memberi Anda perasaan cinta dan suka, tentu saya juga harus berpikir dalam keadaan perasaan yang sama cinta dan suka untuk Anda. Setujukah Anda? Bagaimana dengan komedi? Apakah Anda menyukai komedi? Atau anekdot, atau lelucon ringan yang membuat Anda setidaknya tersenyum sendiri. Sukakah Anda? Baiklah, saya akan menuliskan sebuah ciptaan yang bernuansa komedi yang ringan. Saya juga ingin sama bahagia dalam menulis bersama Anda yang mudah-mudahan bahagia dalam membaca.

Begini ceritanya,

Alkisah, adalah nama seorang laki-laki dewasa berumur dua puluhan yang tidak punya mata pencaharian tetap dan menjadi bahan pergunjingan masyarakat yang budiman. Meski seringkali dicemooh dan dibicarakan oleh masyarakat, Alkisah tetap menyerah untuk terus mencahari mata pencaharian sehari-hari. Bukan menyerah pada kemalasan, tapi apalah artinya memiliki mata pencaharian jika tanpa mata pencaharian, apa-apa yang dibutuhkannya sehari-hari telah terpenuhi tanpa harus mencahari-cahari. Meskipun dengan cara mengais-ngais makanan sisa bersama kucing dan kacung-kacung kota meski hanya kacang-kacangan. Sebuah kemalangan sejak lahir, Alkisah adalah seorang manusia yang kurang dalam pendengaran sehingga untungnya dia jadi tidak banyak mendengar cemoohan-cemoohan yang dilemparkan padanya oleh masyarakat yang rupawan, dan rupawati.

Tuhan Maha Adil, Alkisah yang tersisihkan dari masyarakat tidak dibiarkan sendirian dalam menempuh jalan sulit kehidupan, ia dianugerahi seorang sahabat karib yang sama tersisihkan. “Konon,” katanya saat diajak berkenalan waktu dulu oleh Alkisah dan, “Alkisah,” jawab Alkisah saat keduanya berjabat tangan dan kemudian memulai pencaharian makanan sisa di gang-gang kota metropolutan. Sayang seribu sayang, rupanya Konon juga memiliki kekurangan dalam kelancaran berbicara, atau gagap, sehingga untung baginya ia tak perlu susah-susah beretorika menjadi wakil rakyat demi sesuap nasi di parlemen kenegaraan.

“Namamu kok lucu, Mon. Kumon mah bukannya nama tempat belajar apa itu, tempat belajar anak orang kaya, kan, ya?” Alkisah bertanya karena penasaran.

“Heee, Ko… Non, Al. Nnn…namaku Kon…non. Bukan Kum..kum..mmon. Konon.”

“Yuk, deh. Mau ke mana lagi, Mon?”

“Ap..ap…aah.. Ke mana la..la..ggi apaan?”

“Katanya kemon. Ya ayo, mau ke mana kamu?”

“KONN…NN…NON! KONON! KONON, A…AA..AL! NAMAKU KONN…NON. BUKAN KUMM.KUMMMM..MMMMM…MMOOONNN! IH!”

“Ooooh, hehe, kukira kumon. Makanya yang jelas dong bicaranya. He he he,” Alkisah sambal nyengir.

“A…aa..aku emang agak gag..ggap, Al.”

“Aaaaaaaaaa………,” Alkisah membuka mulutnya lebar-lebar ke muka Konon.

“Aa…aaa..apaan, sih?”

“Hahanya huwuh wangaww hadi (re: katanya suruh mangap tadi).”

“Haha..haaa..hastaghfirullah! GAGAP! BUK..BUKK.,..BUBUBU…KKAN MANGAPP!”

Nggak konsisten nih,” Alkisah cemberut.

Konon menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil menghela napas panjang. Sama cemberut.

“Hehe. Jangan cemberut dong,” membujuk Konon agar tidak cemberut juga.

“Hmmm.”

“Jadi nggak, nih, Non? Mau ke mana?”

“Ap..app..apanya ke mana?”

“Kan mau kemon kita.”

Nah, Anda mesti sabar. Membuat tulisan yang seperti ini tidak semudah kelihatannya. Kelihatannya seperti mudah, tapi tidak. Saya harus sejak sebulan yang lalu bekerja membanting tulang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan desain saya agar saya dapat menyambung hidup dari bayaran yang saya dapat untuk sampai ke hari ini. Tidak hanya sampai di situ, saya juga mesti menghabiskan beberapa puluh ribu sore ini demi berbatang-batang rokok, dua gelas minuman, dan makanan yang saya beli agar saya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan tulisan saya ini demi cinta dan suka yang saya harapkan bersemi bagi Anda. Maka dari itu, mari kita kembali pada cerita antara Alkisah yang kurang mendengar dan Konon yang kurang lancar berbicara. Saya harap Anda sabar dan dapat tetap tersenyum dengan senantiasa manis selalu.
Malam telah tiba di kota metropolutan. Alkisah dan Konon sudah cukup kenyang karena mendapat beberapa makanan sisa dari seorang penjaga restoran yang baik hati mau menyisihkan beberapa bahan makanan di gang belakang restoran tempatnya bekerja. Meski tidak banyak, beberapa potong roti, daging, dan selada tentu patut disyukuri. Jika malam sudah terlalu, kedua sahabat karib ini kemudian akan mencari sebuah tempat yang dirasa cukup nyaman untuk sekedar menggelar beberapa lembar kardus yang mereka temukan sebelumnya sebagai alas tidur. Misalnya seperti mala mini, keduanya menemukan dan bersepakat bahwa sebuah teras kosong di depan toko obat yang telah tutup sebagai tempat untuk tidur yang cukup nyaman.

“Al,” Konon membuka pembicaraan.

Alkisah memandangi jalanan yang sudah sepi dan hanya sesekali dilewati kendaraan. Malam ini cerah dan tidak hujan. Suatu hal yang juga patut untuk disyukuri.

Konon mencondongkan badannya ke arah Alkisah, “AL!”

“Ya, Non?”

Oh, tidak kedengaran rupanya.

“Ge..gegege..geseran sss..se..sedikit, Al. Itu mm..masih lebar.”

Alkisah menghela napas dalam, “Konon, kawanku, konon…,”

“A..apa?”

“….katanya…”

Itu maksudnya Alkisah belum selesai bicara, ia ingin bercerita dengan pembukaan ‘konon katanya.’

“Ki..ki..kirain mang..gigi..gil.”

“Konon katanya, Tuhan itu Maha Adil, Non. Orang-orang kaya tidur di kasur yang empuk sementara kita tidur di atas kardus. Orang-orang kaya makan makanan yang enak-enak lalu mereka sementara kita makan makanan sisa dan nggak enak. Orang-orang kaya pakai baju-baju bagus yang bersih sementara kita pakai baju rombeng dan kotor. Tapi aku tetap percaya Tuhan Maha Adil itu bukan cuma konon katanya, Non.”

Konon mendengarkan Alkisah dengan seksama.

“Kamu tahu kenapa aku tetap percaya, Non?”

Enggak. Ken..ken..nappa?”

“Tahu nggak???”
Konon menghela napas, “ENGG…NGGG..GAK!” lalu berbisik setelahnya, “Ddd…dddass..sar budeg.”

“Aku percaya karena biar mereka tidur di kasur enak, kita tetep sama bisa tidur. Aku percaya karena biar mereka makan makanan enak, kita tetep sama bisa kenyang. Aku percaya karena biar baju mereka bagus dan bersih, kita tetep sama nggak telanjang di depan orang.”

“Ter..terus?”

“Artinya bukan itu yang nantinya menentukan kita manusia bener atau bukan, Non. Yang menentukan adalah gimana cara kita tetep bersyukur dengan apa yang kita punya dan tetep bersabar dengan keadaan. Aku percaya itu, dan aku ngerti banget itu, Non.”

“Mmm. Yaa, ter..ter..ruru…sss??” ngomong apa sebetulnya Alkisah ini, begitu pikirannya.

“Jadi tanpa harus kamu ingetin juga aku udah paham, Non. Aku mah pasti sabar. Pasti sabar. Pasti.”

Sabar? Sebentar. Saya rasa apa yang ada di pikiran Konon saat ini sama dengan apa yang ada di pikiran Anda. Ada yang salah di sini. Atau tidak ada? Tolong katakana pada saya dan pada Konon, adakah yang salah? Saya rasa, kawan kita, Alkisah yang kurang dalam pendengarannya ini lagi-lagi salah mendengar. Bukankah Anda juga berpikir demikian?

“AL!”

“Hmm?”

“AKU NGGG..NGGAK BILANG SAB..SS..SSABB..SABARRR!”

“A..AA..KKU BILANG: GESS..GESS..GESERAN SEDIKIT IT..ITTT..ITU MMMM…MASIH LEBAR, AL! LL…LEBAR, AL, LEBARRRRRR!”

“Oohh, bilang dong yang jelas dari tadi, Non.”

“Ah! Jan..nn..cuk!”

“Eh, aku laki-laki normal, Non. Masa kamu mau…”

“HALAH! JANN…NN…CUK, AL. JANCUK!”

“Siapa?”

“KAMU, AL, KAM..MU JAN..NN..CUK!”

“Ehh, kasar.”

“Ehh, bud…bud..deg!”

“Mau cari di mana? Bukan Jogja ini, Non. Baru juga tadi makan, mosok udah laper lagi.”

“BUDD..BUDD..BUDEG!”

“Yee, gagap!”

“EMM..EMM..MANG!”

Nyemplung,dong?”

“EEE…EEEMANGG GAGAP!”

“Ya, kan emang gagap dari tadi juga aku bilangnya.”

“KUPINGMU IT..ITTUU, RUS..RUSS..RUSS….RUSSS……RUU…RUUUU…SSSS….Halah, susah amat!”

“Hahahahahaha”

“Hahahahahaha”

“Nah, itu ketawa kok nggak macet? Haha.”

“Ha..ha..hh…haaa…ha…”

“Jangan dibikin macet, nanti macet betulan! Haha.”

Padahal itu Konon mau bicara, bukan ketawa macet.

“HAHH..HAA…HAA..HALAH MAKSUDNYA, AL!”

“Halah apanya?”

NGGAK TAU, AH!”

“Yeeeee.”

“Ti..ti…tidur, ah.”

“Ke mana lagi, udah tembok ini, Non.”

“TID..TII..DDUURRRR, BUKAN MUNN..NNN..NN..NNNNNN………….”

“Hmm??”
“…………”

“…………”

“NNNN….DUR! MUNDUR!”

“Iyaa, Konooonn. Mundur ke mana lagi ini udah tembok, Kononnn.”

“AL..ALLLL…ALLAHUAKBAR! ALLAHUAKBAR!”

“He! Subuh masih lama! Tidur dulu!”

“I…I…I…I…..III…..III……I……III…..”

“Ikan?”

“IIII………I………..III…I..I..II….III…………IIII….”

“Ini?” sambil menunjuk jaketnya.

“BBBB….BU…BU….BUKK…..BUKK….BUKBUKK…BUBUBU……BU……BBBBB….”

“Ha? Buku??”

“IIII…..III…I.I.I.I……I….IIIII….III…”

“Iya?” Alkisah menyodorkan buku yang dijadikan bantal, “Nih..”

“BU….BUBUBU…BBB…BUKKK..BUKKKK….KKKKK….”

“Iyaa, ini, buku. Bantal.”

Konon menjambak rambutnya sendiri tanda frustasi. Menggeleng-gelengkan kepalanya, “BUKAN!” terengah-engah dia.

“Terus apa dong maksudnya??”

“III…III..III.IIII….IIIYAA!”

“Iya apa? Buku, kan? Nih.”

“BUBUBU…BB…BUKKK…BUKKK…..”

“Ah, lama. Besok lagi aja. Hayu tidur.”

“NNN…NAHHH!” tangan Konon sambil menunjuk tegas.
Nah, apa? Alkisah menolehkan kepalanya pada Konon dengan wajah penuh tanya. Konon menggelangkan kepalanya dan berbaring dalam arti ‘ah, sudahlah. Lupakan saja.’

Alkisah lalu berbaring meringkuk membelakangi sahabatnya itu, “Jangan lupa berdoa, Non.”

Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut.

Alkisah menoleh heran. Ya itu Konon membaca doa dengan lancar dan sudah meringkuk membelakangi Alkisah. Alkisah tetap menoleh dalam diam, lalu kembali meringkuk, membaca doa sebelum tidur. Malam cerah, sepi sunyi. Hari ini, mesti disyukuri. Mengenai urusan disuka dan dicinta, saya harap Anda sudah memberikannya pada diri Anda sendiri dengan baik. Membuat Anda menjadi lebih tenang dan lebih baik dalam bersyukur. Demikian, semoga saya juga begitu.

Selamat beristirahat, kawan. Semoga senantiasa diliputi kedamaian.

No comments:

Post a Comment

komennya yang asik-asik aja ya frend...hhe.