Maghrib menjelang. Sore itu, selain gelap, faktanya hujan juga ikut datang bersamaan. Turun bersama matahari memberi salam penyambutan datangnya perjamuan malam. Lamat-lamat kudengar suara rintik-rintik air hujan yang menenangkan. Namun, toh, setiapmanusia dihinggapi keresahannya masing-masing. Dan punyaku, selepas maghrib mengajakku untuk keluar dari rumah, menuju Bandung dan jalan-jalan basahnya.
Di depan pagar rumah rupanya jalan kecil di depan rumahku betul basah. Berkilapan cahaya rumah-rumah yang dipendari aspal basah. Hawanya sejuk lagi damai. Namun setiap manusia dihinggapi keresahannya masing-masing, toh? Kueratkan retsleting jaket tebalku supaya aku segera berangkat. Ke jalan-jalan gang kecil. Ke jalan-jalan perumahan yang juga basah. Ke jalan-jalan kompleks perumahan tentara yang juga basah. Ke jalan Setiabudi yang panjang menurun yang sama, juga basah. Menuju jalan Cemara yang juga dibuat basah.
Itu karena hari sudah malam dan hari sudah gelap. Membuat lampu-lampu jalan pada menyala. Membuat lampu-lampu rumah pada menyala. Membuat lampu-lampu taman pada menyala. Membuat lampu-lampu kendaraan juga pada semua menyala. Membuat semuanya jadi pada terbias di muka jalan-jalan yang basah. Memantul-mantul ringan pada air-air gerimis kecil yang masih rindu pada bumi. Membuat sebuah fenomena jingga yang adalah sebuah kenyataan.
Fenomena dan kenyataan.
Kenyataan bahwa rupanya malam ini jadi hajat akbar seluruh laron-laron yang datang entah dari mana. Terbang ke sana juga kemari ke cahaya-cahaya. Cahaya di tiang-tiang lamu jalanan. Cahaya di pasak-pasak lampu taman. Cahaya di perseliweran lampu-lampu kendaraan. Di jalan dan di udara.
Ratusan. Ribuan. Ratusan ribu. Ratus ribuan. Laron-laron ikut meramaikan jalanan. Pada hajatan menyambut tanah basah dan cahaya jalanan. Sayap-sayapnya yang rapuh tak jarang pada tanggal dari tubuh mereka. Melayang-layang tak keruan disapu angin jalanan yang malam. Lalu berserakan juga di muka jalanan basah. Dan semuanya yang bening itu menambah bias cahaya-cahaya yang di mana-mana. Dan rupa-rupanya itu juga kenyataan sejenak yang sudah berhasil menampik keresahan manusia sepanjang perjalanan kecilnya.
Ya Tuhan. Begitulah rupanya hajat besar pesta buana laron-laron yang sederhana. Yang sepertinya pada bahagia oleh karena hujan dan cahaya. Untuk ramai-ramai berdansa sambil terbang liar menuju aneka cahaya. Untuk kemudian tanggal semua sayapnya. Untuk kemudian jatuh dan cuma merayap-rayap di atas lantai-lantai bumi. Untuk kemudian saling berpasangan jantan dan betina. Untuk berbuntutan ke mana dan ke mana. Di bawah sisa-sisa hujan dan aneka cahaya.
Setidaknya begitulah terjemahanku tentang mereka. Dan tak perlulah aku tahu alasan ilmiahnya. Agar aku duduk dan menulis di sini, bercangkir kopi, bersama Sebastian Klinger dan Jurgen Kruse, yang dibawakan berupa Spiegel Im Spiegel.
28 November, 2017.
No comments:
Post a Comment
komennya yang asik-asik aja ya frend...hhe.