Kalau kamu tahu, di tepi sana, di salah satu belahan Jawa, ada sebuah Kampung Asin. Kampung kecil yang dihuni oleh mayoritas nelayan dan juga pengolahan ikan asin. Sebuah kampung kecil yang orang-orang dan rumah-rumah dan jalan-jalan dan angin-anginnya pada bau oleh amis ikan. Termasuk ikan asin.
Kalau kamu kenal, di kamoung sana, itu dia seorang anak laki yang baru saja remaja. Mestinya hari ini dia kelas dua di sekolah menengah pertama, namun jadi sekolah menengah pailit, karena dia sudah tidak. Sudah tidak lagi sekolah. Kalau ada tanya kenapa, "Kepengen aku sendiri kok berhenti. Mau cari uang saja untuk jajan, sekalian berbantu orangtua," begitu jawabnya.
Kalau kamu kenal, dialah itu orang yang punya nama Atok. Aslinya bernama Rudiyanto, tapi dibuat kecil jadi Atok oleh ibunya biar mudah. Atok, katanya, seingat dia, umurnya sekarang mungkin empat belas atau lima belas. Berkakak empat dan beradik dua. Sementara ayahnya telah tiada, Atok bersama ibu dan dua abangnya menjalankan usaha ikan asin yang diterima dari nelayan. Diolahnya itu ikan-ikan biar mati dan jadi ikan asin, lalu dijual ke luar kampung. Ke pasar ikan.
Kalau kamu kenal Atok lebih dalam, maka akhirnya kamu akan tahu kalau Atpk dan keluarganya ternyata berasal dari Indramayu dulunya. "Tapi aku dan keluarga sudah tak pernah lagi pulang ke Indramayu. Keluarga di kampung sana sudah habis," itu maksudnya habis karena beberapa sudah memang habis jatah hidupnya, selebihnya habis karena semua pada pergi jauh dari kampung dengan niat mulia ingin mencari sukses ke ibu kota, atau ke bapak kota.
Selepas subuh, Atok dan abangnya yang muda bertugas memakai sandal untuk sudi pergi menyambut nelayan favorti mereka. Jadi favorit karena dialah pemasok asin untuk perserikatan maha akbar pengolahan ikan asin keluarga mereka. Nah, itu dia, Bang Naim si pelaut, yang sedang asik merokok kretek sudah menunggu Atok dan abangnya -yang bernama Robin, aslinya Robiyanto. Mengepul-ngepulkan asap rokok Bang Naim sambil telanjang dada, bersama beberapa pelaut lain yang juga membawa tangkapannya dalam pesiar-pesiar mini.
Tapi sebelum sampai dekat ke Bang Naim, si Atok yang usil mengajak abangnya untuk ikut usil bersamanya. Melancarkan sebuah misi kecil tolol yang buang waktu, tapi Atok suka, "Supaya tidak bosan hidup rutin begini teruss! Variasi sedikit dongg!"
"Ah, gila kau, Tok. Ngapain sih? Kau sajalah! Aku tunggu dekat kerat-kerat itu sampai kau usai. Masih ngantuk begini. Mau merokok saja," begitu Robin kalau diajak usil oleh Atok.
"Ah, pengecut kau, Bang! Hahaha," sambil lari Atok meledek.
"Kau yang sinting!" sambil melempar Atok dengan angin lalu nyengir kuda geleng-geleng.
Nah, lihat itu Atok yang katanya sinting. Belum genap jam lima pagi tapi dia memutar sedikit mengitari jalur ke perahu Bang Naim yang tertambat. Turun masuk ke dalam air di tepian dermaga kampung, menyelam di bawah permukaan dan perlahan mendatangi perahu Bang Naim si pelaut dari arah belakang. Dengan beberapa helai rumput mati sseolah rambut panjang tergerai berkilau indah di kepalanya, Atok mulai muncul perlahan dan bertengger ketiak ke bibir perahu Bang Naim seraya berucap manja seolah duyung padahal banci kaleng :
"Bwaaank, minta asin, Bwank..."
Bang Naim menoleh dan langsung terperanjat serta merta sampai berguncang perahunya, hampir terjengkang dari duduknya pula. "Wualaahh! Jiancuuuk! Dasar dedemit sialan! Ada saja ulahmu ini, ah, Tok!" sambil melempar Atok dengan rokoknya tapi tidak kena.
"Hahaha. Katanya pelaut, tapi mosok takut sama putri duyung!"
"Mana ada putri duyung macam kamu ini, bahkan lebih jelek dari banci-banci di Taman Ria. Haha. Kurang ajar betul!"
Robin yang ikut melihat terkekeh-kekeh sambil menghampiri juga, "Haha. Loh, Bang Naim, sekarang tangkap putri duyung juga?"
"Sinting adikmu ini, Bin, jual sajalah dia, haha."
"Hahaha," tertawa saja begitu mereka.
Masing-masing Atok dan Robin akhirnya pulang mengangkut sekarung ikan hasil Bang Naim berlayar, bedanya, Atok pulang dengan badan yang basah lagi asin. Ikan-ikan itu kemudian dibawa ke 'workshop' ikan asin mereka yang telah ditunggui Bang Rubi dan Mbok Nani sang ibu. Dibersihkannya isi perut ikan-ikan biar pada mati dan dibelek juga. Lalu semua ikan yang sudah, dimasukkan ke dalam sebuah bak besar berisi air yang kemudian dicampuri garam yang kelewatan. Diaduknya bak itu bergantian selama kurang lebih dua jam lamanya, katanya supaya asinnya meresap sampai ke daging. Meski seumur hidupnya ikan-ikan itu di air asin. Selepas dua jam direndam, akhirnya ikan-ikan asin itu dijemur di bawah matahari panas selama dua hari, kurang lebih, sebelum akhirnya dijual ke pasar ikan, dibeli oleh ibumu, lalu kamu makan bersama nasi dan lainnya.
Tak banyak sebetulnya Atok dapat dari ia berhenti sekolah begitu, lebih kurang cuma sekitar sepuluh ribu satu harinya, tapi buat Atok cukup. Sekitaran pukul satu atau dua, biasanya mereka selesai hari itu, kemudian pulang ke rumah untuk pada sama-sama santap makan siang.
"Mbok, Atok mau main dulu, ya?"
"Sama siapa, Tok? Sama Banjo?" tanya simbok. Sebenarnya itu pertanyaan retoris simbok saja karena kalau kamu juga tahu, seperti sombok yang juga tahu, bahwa Atok pasti main dengan si Banjo itu, sobatnya si Atok semenjak kecil. Banjo itu bukanlah banjo yang alat musik. Banjo yang ini adalah anak baru gede, sama seperti si Atok juga. Yang sudah tidak lagi sekolah, seperti si Atok yang juga. Tapi berhenti terpaksa karena ayahnya yang almarhum tiga tahun lalu tak lagi bisa membiayai sekolahmya. Maka terpaksalah Banjo berhenti sekolah dan jadi ikut bersama pamannya mencari kerang hijau di laut. Karena dia anak pertama di keluarganya.
"Iya, Mbok. Biasa, sama Marbanjo yang hitam seperti cukil nasi kita itu, hehe."
"Hush! Jangan gitu kamu, kayak kamu nggak hitam saja."
"Aku hitam, Mbok. Tapi hitam seperti karang di lautan. Kokoh dihantam dan disegani. Hehe."
"Halah, ngawur, ah. Ngeles aja seperti bajaj di Jakarta. Mau main ke mana, Tok?"
"Ke Ostraliya, Mbok, dekat kok," sembarangan Atok.
"He? Ostarliya? Di mana itu? Ngawur, ah!"
"Haha. Iya, Mbok. Mau ke Ostraliya, nyalon jadi presiden nggantiin Kaka Slank. Aku pergi ya, Mbok," pamit dia sambil mencium tangan mboknya yang tipis.
"Iya, hati-hati. Pulang sebelum malam ya!" teriak simbok pada anak lakinya yang sudah loncat keluar, ke jalanan Kampung Asin yang bau ikan.
Atok pergi ke Kampung Hijau untuk menjemput si Banjo di rumahnya karena tidak punya handphone. Adalah sebuah kampung kecil juga di sebelah Kampung Asin. Menjemput Banjo yang juga baru saja pulang mencari kerang di lautan yang berbuah lima belas ribuan rupiah. Keduanya lalu membeli beberapa batang rokok ketengan dan main rental playstation di warung yang jual rokok keparat itu juga. Main playstation sampai pukul setengah empat sore.
Setelah merasa puas, mereka lantas pergi menuju tepi laut Kampung Hijau. Untuk bertelanjang dada lalu menceburkan diri di tepian laut yang cukup tenang. Di perairan yang tak bersih karena tak jarang ada sampah dan juga lainnya, namu mereka cukup senang. Itu saja. Melakukan aneka gaya salto dari atas perahu-perahu yang ditambat. Beradu kontes 'siapa paling lama dalam air.' Beradu cepat ke sana dan kemari berenang. Lalu lagi, aneka salto dipertunjukkan.
Di ujung petang, Atok dan Banjo biasa duduk di dahan-dahan sebuah pohon rindang sambil menikmati matahari senja. Untuk sekedar obral-obrol saja, tukar cerita ini itu, dan tentu untuk beberapa batang rokok yang tersisa. Menutup hari yang terasa sama sepanjang tahun dan mungkin selamanya.
"Tok...," itu suara Banjo kalau kamu belum tahu.
"Oy," itu Atok sambil menghembuskan asap rokok.
"Lanjut ceritanya," itu aku, iseng saja menulis ini pada kamu yang membaca. Mari kita kembali ke Atok dan Banjo.
"Aku? Hmm... Jadi, itu, apa namanya, jadi mentri. Tapi yang khusus urusan laut dan pantai sajalah."
"Ha. Ha. Ha." Memang begitu Banjo kalau tertawa, "Ngapain kau mau jadi mentri urus-urus laut dan pantai?"
"Supaya aku bisa bikin rental PS yang lebih bagus! Haha."
"Ha. Ha. Ha."
"Supaya rumah-rumah kita di pantai jadi bagus-bagus dan besar!"
"Jadi makin sempit dong? Ha. Ha. Ha."
"Yang penting bagus, Jo! Haha."
"Terus?"
"Nanti semua sekolah di pantai kubuat gratis, Jo. Lalu gaji orang-orang macam kita kubuat jadi dua batang emas per hari!"
"Wah! Benar, Tok? Ha. Ha. Ha." Banjo bertepuk tangan memanas-manasi Atok yang sedang berapi-api. Sinting. Sungguh sinting!
"Oh, ya tentu benar, Jo! Gak cuma itu. Dua batang emas plus sebungkus rokok gratis!"
"Ha. Ha. Ha."
"Filter! No kretek-kretek lah!!"
"Ha! Ha! Ha! Ha!" Banjo terdengar sangat puas, "Aku diajak kerja sama kamu gak, Tok??"
"Nggak! Jangan, Jo! Kamu orang hebat dan pintar lagi jujur. Orang sepertimu akan kusekolahkan lagi. Ke luar negeri!"
"Ha. Ha. Untuk apa toh, Tok?"
"Untuk nanti sekolah tentang laut, Marbanjo."
"Loh. Buat apa?"
"Buat nanti balik ke sini dan bantu aku mikirin laut. Dari tadi kan aku baru soal yang pantai saja. Padahal aku Menupal. Mentri Urusan Pantai dan Laut! Hahaha."
"Ha. Ha. Ha. Ha. Ha. Sinting!"
"Gila ya? Haha."
"Miring, Tok! Ha. Ha. Ha."
Begitulah Atok dan Banjo sore itu di atas sebuah pohon yang jadi emas ketika disiram senja. Betapa bahagia yang cuma sederhana. Jauh sangat lebih sederhana dibanding 'bahagia itu sederhana' orang-orang kota millenia yang jauh dilengkapi, dipenuhi, dilebihkan dari cukup, oleh berbagai macam ini dan itu, tapi masih juga berkeluh tentang ini dan itu. Tapi sungguh, kebahagiaan, pada dasarnya bersifat relatif ukurannya, begitu juga dengan ujian, yang sama, dalam satuan ukurannya bersifat relatif. Dan sungguh, sama seperti kebahagiaan, ujian dan kesedihan pun akan datang mengambil jatah perannya. Bahkan terkadang terasa berat, karena seringkali juga datang, langsung menggantikan kebahagiaan yang tengah ada. Sama persis seperti hari ini. Saat genap sudah empat hari Atok tak juga datang ke Kampung Hijau, ke rumah Banjo. Ke muka Banjo yang menunggu karibnya datang sepulang kerja seperti hari-hari yang biasa. Melainkan abangnya, si Robin, yang datang dengan raut duka, juga kabar duka. Tentang Atok kawan karibnya yang telah tinggal nama. Dibuat hilang tak bernyawa. Membuat hilang semua tawa.
Menurut cerita, Atok meninggal di jalan pulang malam itu sepulang senja dari bersama Banjo. Tewas dipukuli dua orang pemuda Kampung Asin yang sedang dimabuk. Atok dipalaki uang oleh keduanya, namun Atok melawan, Atok melawan untuk mempertahankan seribu rupiah di kantong celananya. Dua keping logam limaratusan yang mesti pulang bersamanya seperti hari-hari biasanya. Dua keping yang selalu begitu, disisakan untuk masuk ke dalam dua celengan pribadinya. Yang satu bertuliskan : 'Untuk Simbok Haji.' Dan yang satunya : 'Untuk Marbanjo Sekolah Lagi.'
Untuk. Marbanjo. Sekolah. Lagi.
Robin datang memberitahu kabar duka. Juga untuk meberikan celengan yang 'Untuk Marbanjo Sekolah Lagi.' Kemudian Robin pulang, meninggalkan Banjo, yang terduduk lesu di muka pintu, yang meleleh air matanya begitu. Hingga menjelang senja Banjo keluar dari rumahnya, membawa sebuah botol tertutup berisi gulungan kertas. Menuju ke tepi pantai dan matahari senja. Kemudian menggali sebuah lubang di bawah pohon karibnya, lalu mengubur botol tersebut ke dalamnya. Lalu disiraminya gundukan tanah tersebut dengan air mata lara. Duka. Dan nestapa.
-
Surat untukmu,
Atok, sahabat Banjo :
Atok.
Atok. Sahabatku. Mentri urusan pantai dan lautku.
Rupanya Allah lebih sayang padamu, begitu kata simbokku. Aamiin.
Atok. Karibku yang pinter. Yang lebih lama kuat di air.
Rupanya guyonmu soal menyekolahkanku bukan omong kosong. Aku tahu kau tahu aku masih ingin sekolah. Tapi guyonmu bukan cuma omong. Kosong. Oleh karena itu, kawanku sayang, aku bersumpah akan berusaha kembali ke sekolah.
Atok. Atok usil yang berbahagia.
Aku bersyukur dan berterimakasih boleh berkawan dengan yang sepertimu. Sungguh aku merasa senang sekali karenanya. Semoga Atok ada di surga Allah. Aamiin.
Sahabat Atok selalu,
Marbanjo.
-
Monday, 4 December 2017
Wednesday, 29 November 2017
JONG ESE MONOLOG
Ese. Jong Ese. Begitu jawabnya kalau ada orang kasih tanya dia punya nama. Seorang pemuda tanggung dengan setelan yang katanya flamboyan. Yang jika pergi ke mana senangnya memakai kemeja motif bunga-bunga lengan panjang yang digulung sepertiganya. Celananya adalah panjang dari bahan katun yang cutbray modelnya. Rambutnya tanggung sebahu, ikal dibiarkannya tak terikat dan bebas merdeka bersama kulitnya yang sawo matang. Wajahnya biasa saja, berhias serumpun kumis tipis yang lebih tebal dari janggut di ujung dagunya.
Jika berjalan, Ese terlihat sangat santai bersama tangan rampingnya yang berayun-ayung mengiringi langkahnya yang santai. Tak jarang wajahnya juga sambil celingukan ke sana kemari dengan acuh. Sekali waktu jika hari terasa lebih dingin, dilapisnya kemeja flamboyan itu dengan jaket jeans yang sedikit lusuh. Tampak dari belakang jaket itu berhias lukisan tangannya dari cat akrilik dengan sebuah tulisan : "DARI MANA HENDAK KE MANA."
Di hari-hari sendu, Ese lebih senang menyendiri. Di bawah sebuah pohon kersen favoritnya yang rasanya sangat jarang berbuah. Hanya duduk saja begitu sampai biru, sampai beku dipeluk perasaan sendu. Bersama awan-awan sore yang bergerak pelan ditiupi angin dari timur. Seperti sore ini, seperti sekarang ini, bersama jaket pilihannya.
Lama sudah rasanya Ese melamun kosong di bawah pohon itu. Rupa-rupanya kekosongan lamunan Ese telah membawa seorang Ese lainnya yang tiba-tiba mengetuk pikirannya. Seorang Ese yang sama persis seperti Ese yang selama ini menjadi dirinya. Hingga Ese merasa perlu berkata padanya, "Ada perlu apa kemari? Aku tahu siapa Engkau."
"Entahlah. Cuma datang saja. Kulihat Kau melamun sendiri. Siapa tahu kau butuh teman untuk sendiri."
"Aku tak merasa butuh teman untuk sendiri. Itu pasti. Tapi bolehlah kau duduk di sini kalau mau kasih aku kawan," balas Ese santai.
Cukup lama sebetulnya Ese cuma diam dan duduk sambil tetap melamun begitu. Lalu, "Apa yang kau lamunkan, Ese? Ceritalah sedikit itu Kau punya pikiran."
"Begini, Ese," jawab Ese, "Pada dasarnya pikiranku sungguh ada di semua mana yang bisa ada. Pada serangkaian peristiwa lampau yang muncul. Pada peristiwa yang mungkin akan ada selanjutnya. Pada itu Kau boleh lihat ujung daun di atasmu. Pada itu burung merpati yang belum pernah sama sekali lewat pada kita. Pada itu batu kecil di ujung jalan. Pada itu langit yang memang begitu warnanya. Pada itu mereka yang punya negara kita. Pada itu bunga bakung yang mekar dalam sebuah lagu. Pada itu ibu penjual ketan yang entah kenapa memilih ketan untuk dijual. Pada itu asap kendaraan yang masuk ke dalam knalpot jika waktu sudi mundur ke belakang, yang secara praktis jika kau undur waktu makanmu justru tetap saja maju ke depan. Pada itu mereka orang-orang yang tidak kukenal. Pada itu mereka orang-orang yang ternyata aku sudah kenal. Pada itu dirimu, Ese, yang juga adalah aku. Pada itu aku yang kini melamunku di bawah pohon kersen."
"Wah, wah. Kau ini betul lah seorang pria dengan pikiran yang tidak praktis ya. He. He."
"Ya begitulah jika kau berpendapat demikian. Begitulah aku di matamu jadinya," Ese menanggapi.
Lama lagi lalu Ese kembali melamun merasai sore yang sudah semakin. Daun-daun pohon kersen melambai laun-laun dikutip angin pelan-pelan.
"Aku tak pernah betul bisa menyusun semuanya," gumam Ese tetiba.
"He? Bagaimana?"
"Iya. Maksudku, aku tak pernah betul-betul bisa menyusun demikian pikiranku secara rapi dan pasti. Jadi ya begitu," Ese melengkapi penjelasannya.
"Ooh. Hmmmmm... Ah, sudahlah, Bung. Biar saja begitu. Mungkin bagus jadinya nanti."
Mengernyit dahi Ese, "He? Bagus bagaimana? Jadi apa maksudmu, Ese?"
"Yaa tak tahu pun aku jadi apa itu nanti. Tapi mungkin bagus menurutku Kau kacau begitu. Siapa bisa sangka mungkin itu kacau bisa jadi ini, atau jadi itu, jadi hasil. Mungkin juga ada bagus itu Tuhan kasih Engkau punya kacau. Atau mungkin sebenarnya itu bukan kacau, melainkan lainnya."
Bermenung Ese mendengarnya. Bermenung Ese karenanya. Ssementara sore tak terasa sudah saja semakin. Itu kita tahu karena hari sudah mau jadi gelap, tapi sedang mandi bumi dan langit oleh emas matahari senja bersama angin yang cinta dunia. Ah, sudah cukup dan waktunya mesti pulang ke rumah buat Jong Ese, sehingga berkatalah dia orang, "Boleh jadi Engkau betul, Ese, dan semoga saja betul."
"Ese. Hari sudah masuk petang. Aku mau ada jalan pulang. Kau mau ikut atau di sini saja?" lanjut Ese.
"Pulanglah, kawanku sayang. aku mau diam di sini melanjutkan Engkau."
"Bersama siapa pula? Sendiri juga?"
"Bersama Eleanor Rigby-nya The Beatles. Kau pulanglah."
"Salam untuk mereka ya, Ese. Untukmu juga, terimakasih sudah kasih aku banyak tadi. Semoga jumpa lagi kita di sini."
Dan oh, lihatlah juga olehmu itu senja. Sinar-sinarnya yang menembusi sebahagian awan bergumpal. Pohon kersennya yang melambai-lambai kasih kita sampai jumpa. Batu kecilnya yang diam di ujung jalan. Burung merpati yang tetiba lewat melengkung bersama seekor merpati lainnya. Mekarnya bunga bakung di lagu yang telah lama berseminya. Ketan sisa yang dibawa pulang oleh ibu yang menjualnya. Juga asap kendaraan lalu lalang yang tentu asapnya keluar dari knalpot di pantatnya. Juga peristiwa-peristiwa lampau yang sesekali sering juga ingin ditengok. Tentu juga peristiwa-peristiwa selanjutnya yang satu persatu sudah siap menyambut Jong Ese, menyambutmu, menyambutku, menyambut kita, saat kita sudah siap bertemu.
Dan oh, lihatlah olehmu juga, itu Jong Ese, itu kamu, itu aku, itu kita semua. Berjalan ramai-ramai dan bersamaan di atas muka sebuah bola raksasa di bawah kita yang karenanya jadi berputar seperti akrobat dalam pertunjukan sirkus yang mulia. Menuju pulang. Menuju ke sampai jumpa.
28 November, 2017.
Jika berjalan, Ese terlihat sangat santai bersama tangan rampingnya yang berayun-ayung mengiringi langkahnya yang santai. Tak jarang wajahnya juga sambil celingukan ke sana kemari dengan acuh. Sekali waktu jika hari terasa lebih dingin, dilapisnya kemeja flamboyan itu dengan jaket jeans yang sedikit lusuh. Tampak dari belakang jaket itu berhias lukisan tangannya dari cat akrilik dengan sebuah tulisan : "DARI MANA HENDAK KE MANA."
Di hari-hari sendu, Ese lebih senang menyendiri. Di bawah sebuah pohon kersen favoritnya yang rasanya sangat jarang berbuah. Hanya duduk saja begitu sampai biru, sampai beku dipeluk perasaan sendu. Bersama awan-awan sore yang bergerak pelan ditiupi angin dari timur. Seperti sore ini, seperti sekarang ini, bersama jaket pilihannya.
Lama sudah rasanya Ese melamun kosong di bawah pohon itu. Rupa-rupanya kekosongan lamunan Ese telah membawa seorang Ese lainnya yang tiba-tiba mengetuk pikirannya. Seorang Ese yang sama persis seperti Ese yang selama ini menjadi dirinya. Hingga Ese merasa perlu berkata padanya, "Ada perlu apa kemari? Aku tahu siapa Engkau."
"Entahlah. Cuma datang saja. Kulihat Kau melamun sendiri. Siapa tahu kau butuh teman untuk sendiri."
"Aku tak merasa butuh teman untuk sendiri. Itu pasti. Tapi bolehlah kau duduk di sini kalau mau kasih aku kawan," balas Ese santai.
Cukup lama sebetulnya Ese cuma diam dan duduk sambil tetap melamun begitu. Lalu, "Apa yang kau lamunkan, Ese? Ceritalah sedikit itu Kau punya pikiran."
"Begini, Ese," jawab Ese, "Pada dasarnya pikiranku sungguh ada di semua mana yang bisa ada. Pada serangkaian peristiwa lampau yang muncul. Pada peristiwa yang mungkin akan ada selanjutnya. Pada itu Kau boleh lihat ujung daun di atasmu. Pada itu burung merpati yang belum pernah sama sekali lewat pada kita. Pada itu batu kecil di ujung jalan. Pada itu langit yang memang begitu warnanya. Pada itu mereka yang punya negara kita. Pada itu bunga bakung yang mekar dalam sebuah lagu. Pada itu ibu penjual ketan yang entah kenapa memilih ketan untuk dijual. Pada itu asap kendaraan yang masuk ke dalam knalpot jika waktu sudi mundur ke belakang, yang secara praktis jika kau undur waktu makanmu justru tetap saja maju ke depan. Pada itu mereka orang-orang yang tidak kukenal. Pada itu mereka orang-orang yang ternyata aku sudah kenal. Pada itu dirimu, Ese, yang juga adalah aku. Pada itu aku yang kini melamunku di bawah pohon kersen."
"Wah, wah. Kau ini betul lah seorang pria dengan pikiran yang tidak praktis ya. He. He."
"Ya begitulah jika kau berpendapat demikian. Begitulah aku di matamu jadinya," Ese menanggapi.
Lama lagi lalu Ese kembali melamun merasai sore yang sudah semakin. Daun-daun pohon kersen melambai laun-laun dikutip angin pelan-pelan.
"Aku tak pernah betul bisa menyusun semuanya," gumam Ese tetiba.
"He? Bagaimana?"
"Iya. Maksudku, aku tak pernah betul-betul bisa menyusun demikian pikiranku secara rapi dan pasti. Jadi ya begitu," Ese melengkapi penjelasannya.
"Ooh. Hmmmmm... Ah, sudahlah, Bung. Biar saja begitu. Mungkin bagus jadinya nanti."
Mengernyit dahi Ese, "He? Bagus bagaimana? Jadi apa maksudmu, Ese?"
"Yaa tak tahu pun aku jadi apa itu nanti. Tapi mungkin bagus menurutku Kau kacau begitu. Siapa bisa sangka mungkin itu kacau bisa jadi ini, atau jadi itu, jadi hasil. Mungkin juga ada bagus itu Tuhan kasih Engkau punya kacau. Atau mungkin sebenarnya itu bukan kacau, melainkan lainnya."
Bermenung Ese mendengarnya. Bermenung Ese karenanya. Ssementara sore tak terasa sudah saja semakin. Itu kita tahu karena hari sudah mau jadi gelap, tapi sedang mandi bumi dan langit oleh emas matahari senja bersama angin yang cinta dunia. Ah, sudah cukup dan waktunya mesti pulang ke rumah buat Jong Ese, sehingga berkatalah dia orang, "Boleh jadi Engkau betul, Ese, dan semoga saja betul."
"Ese. Hari sudah masuk petang. Aku mau ada jalan pulang. Kau mau ikut atau di sini saja?" lanjut Ese.
"Pulanglah, kawanku sayang. aku mau diam di sini melanjutkan Engkau."
"Bersama siapa pula? Sendiri juga?"
"Bersama Eleanor Rigby-nya The Beatles. Kau pulanglah."
"Salam untuk mereka ya, Ese. Untukmu juga, terimakasih sudah kasih aku banyak tadi. Semoga jumpa lagi kita di sini."
Dan oh, lihatlah juga olehmu itu senja. Sinar-sinarnya yang menembusi sebahagian awan bergumpal. Pohon kersennya yang melambai-lambai kasih kita sampai jumpa. Batu kecilnya yang diam di ujung jalan. Burung merpati yang tetiba lewat melengkung bersama seekor merpati lainnya. Mekarnya bunga bakung di lagu yang telah lama berseminya. Ketan sisa yang dibawa pulang oleh ibu yang menjualnya. Juga asap kendaraan lalu lalang yang tentu asapnya keluar dari knalpot di pantatnya. Juga peristiwa-peristiwa lampau yang sesekali sering juga ingin ditengok. Tentu juga peristiwa-peristiwa selanjutnya yang satu persatu sudah siap menyambut Jong Ese, menyambutmu, menyambutku, menyambut kita, saat kita sudah siap bertemu.
Dan oh, lihatlah olehmu juga, itu Jong Ese, itu kamu, itu aku, itu kita semua. Berjalan ramai-ramai dan bersamaan di atas muka sebuah bola raksasa di bawah kita yang karenanya jadi berputar seperti akrobat dalam pertunjukan sirkus yang mulia. Menuju pulang. Menuju ke sampai jumpa.
28 November, 2017.
SISA HUJAN DAN CAHAYA
Maghrib menjelang. Sore itu, selain gelap, faktanya hujan juga ikut datang bersamaan. Turun bersama matahari memberi salam penyambutan datangnya perjamuan malam. Lamat-lamat kudengar suara rintik-rintik air hujan yang menenangkan. Namun, toh, setiapmanusia dihinggapi keresahannya masing-masing. Dan punyaku, selepas maghrib mengajakku untuk keluar dari rumah, menuju Bandung dan jalan-jalan basahnya.
Di depan pagar rumah rupanya jalan kecil di depan rumahku betul basah. Berkilapan cahaya rumah-rumah yang dipendari aspal basah. Hawanya sejuk lagi damai. Namun setiap manusia dihinggapi keresahannya masing-masing, toh? Kueratkan retsleting jaket tebalku supaya aku segera berangkat. Ke jalan-jalan gang kecil. Ke jalan-jalan perumahan yang juga basah. Ke jalan-jalan kompleks perumahan tentara yang juga basah. Ke jalan Setiabudi yang panjang menurun yang sama, juga basah. Menuju jalan Cemara yang juga dibuat basah.
Itu karena hari sudah malam dan hari sudah gelap. Membuat lampu-lampu jalan pada menyala. Membuat lampu-lampu rumah pada menyala. Membuat lampu-lampu taman pada menyala. Membuat lampu-lampu kendaraan juga pada semua menyala. Membuat semuanya jadi pada terbias di muka jalan-jalan yang basah. Memantul-mantul ringan pada air-air gerimis kecil yang masih rindu pada bumi. Membuat sebuah fenomena jingga yang adalah sebuah kenyataan.
Fenomena dan kenyataan.
Kenyataan bahwa rupanya malam ini jadi hajat akbar seluruh laron-laron yang datang entah dari mana. Terbang ke sana juga kemari ke cahaya-cahaya. Cahaya di tiang-tiang lamu jalanan. Cahaya di pasak-pasak lampu taman. Cahaya di perseliweran lampu-lampu kendaraan. Di jalan dan di udara.
Ratusan. Ribuan. Ratusan ribu. Ratus ribuan. Laron-laron ikut meramaikan jalanan. Pada hajatan menyambut tanah basah dan cahaya jalanan. Sayap-sayapnya yang rapuh tak jarang pada tanggal dari tubuh mereka. Melayang-layang tak keruan disapu angin jalanan yang malam. Lalu berserakan juga di muka jalanan basah. Dan semuanya yang bening itu menambah bias cahaya-cahaya yang di mana-mana. Dan rupa-rupanya itu juga kenyataan sejenak yang sudah berhasil menampik keresahan manusia sepanjang perjalanan kecilnya.
Ya Tuhan. Begitulah rupanya hajat besar pesta buana laron-laron yang sederhana. Yang sepertinya pada bahagia oleh karena hujan dan cahaya. Untuk ramai-ramai berdansa sambil terbang liar menuju aneka cahaya. Untuk kemudian tanggal semua sayapnya. Untuk kemudian jatuh dan cuma merayap-rayap di atas lantai-lantai bumi. Untuk kemudian saling berpasangan jantan dan betina. Untuk berbuntutan ke mana dan ke mana. Di bawah sisa-sisa hujan dan aneka cahaya.
Setidaknya begitulah terjemahanku tentang mereka. Dan tak perlulah aku tahu alasan ilmiahnya. Agar aku duduk dan menulis di sini, bercangkir kopi, bersama Sebastian Klinger dan Jurgen Kruse, yang dibawakan berupa Spiegel Im Spiegel.
28 November, 2017.
Di depan pagar rumah rupanya jalan kecil di depan rumahku betul basah. Berkilapan cahaya rumah-rumah yang dipendari aspal basah. Hawanya sejuk lagi damai. Namun setiap manusia dihinggapi keresahannya masing-masing, toh? Kueratkan retsleting jaket tebalku supaya aku segera berangkat. Ke jalan-jalan gang kecil. Ke jalan-jalan perumahan yang juga basah. Ke jalan-jalan kompleks perumahan tentara yang juga basah. Ke jalan Setiabudi yang panjang menurun yang sama, juga basah. Menuju jalan Cemara yang juga dibuat basah.
Itu karena hari sudah malam dan hari sudah gelap. Membuat lampu-lampu jalan pada menyala. Membuat lampu-lampu rumah pada menyala. Membuat lampu-lampu taman pada menyala. Membuat lampu-lampu kendaraan juga pada semua menyala. Membuat semuanya jadi pada terbias di muka jalan-jalan yang basah. Memantul-mantul ringan pada air-air gerimis kecil yang masih rindu pada bumi. Membuat sebuah fenomena jingga yang adalah sebuah kenyataan.
Fenomena dan kenyataan.
Kenyataan bahwa rupanya malam ini jadi hajat akbar seluruh laron-laron yang datang entah dari mana. Terbang ke sana juga kemari ke cahaya-cahaya. Cahaya di tiang-tiang lamu jalanan. Cahaya di pasak-pasak lampu taman. Cahaya di perseliweran lampu-lampu kendaraan. Di jalan dan di udara.
Ratusan. Ribuan. Ratusan ribu. Ratus ribuan. Laron-laron ikut meramaikan jalanan. Pada hajatan menyambut tanah basah dan cahaya jalanan. Sayap-sayapnya yang rapuh tak jarang pada tanggal dari tubuh mereka. Melayang-layang tak keruan disapu angin jalanan yang malam. Lalu berserakan juga di muka jalanan basah. Dan semuanya yang bening itu menambah bias cahaya-cahaya yang di mana-mana. Dan rupa-rupanya itu juga kenyataan sejenak yang sudah berhasil menampik keresahan manusia sepanjang perjalanan kecilnya.
Ya Tuhan. Begitulah rupanya hajat besar pesta buana laron-laron yang sederhana. Yang sepertinya pada bahagia oleh karena hujan dan cahaya. Untuk ramai-ramai berdansa sambil terbang liar menuju aneka cahaya. Untuk kemudian tanggal semua sayapnya. Untuk kemudian jatuh dan cuma merayap-rayap di atas lantai-lantai bumi. Untuk kemudian saling berpasangan jantan dan betina. Untuk berbuntutan ke mana dan ke mana. Di bawah sisa-sisa hujan dan aneka cahaya.
Setidaknya begitulah terjemahanku tentang mereka. Dan tak perlulah aku tahu alasan ilmiahnya. Agar aku duduk dan menulis di sini, bercangkir kopi, bersama Sebastian Klinger dan Jurgen Kruse, yang dibawakan berupa Spiegel Im Spiegel.
28 November, 2017.
Sunday, 12 March 2017
Subscribe to:
Comments (Atom)