Thursday, 7 January 2016

SEBUAH CERITA SENJA

Pada zaman dulu. Dulu sekali sebelum masehi. Saking dulunya, aku sendiri bingung. Hiduplah seorang anak bersama ayahnya di atas sebuah bukit di belahan dunia bagian timur, timurnya barat. Anak tersebut bisa laki-laki, bisa juga perempuan. Maka bertanyalah anak itu kepada ayahnya dengan sedih, pertanyaan yang sama yang ada di benakku,

"Wahai, Ayah. Ke manakah ibuku?"

Dijawab oleh sang ayah, "Itu, ibu di dapur. Sedang memasak."

"Oh,"  jawab si anak itu.

Maka hiduplah mereka bertiga di atas bukit tersebut, bertiga. Harmoni cinta.

Sebut saja lima belas tahun telah berlalu. Anak itupun sudah tumbuh dewasa. Karena aku bingung membuat ceritanya, mari kita samakan persepsi. Anak itu bernama Angka. Perempuan atau laki-laki ya? Nama lengkapnya, Semangka. Seorang anak muda dengan tubuh bulat dan berwajah ceria, selalu tampak berseri-seri.

Di bukit yang hanya bertiga itu, Angka memiliki seorang sahabat erat yang bernama Ngurub Utnah, seekor burung hantu yang biasa dipanggil Engur. Mereka mulai menjadi sahabat sejak minggu yang lalu. Persahabatan mereka berjalan satu arah komunikasi sampai saat ini, dikarenakan Engur masih belum bisa menguasai bahasa manusia sama sekali. Angka selalu mengutarakan segala keluh kesahnya kepada Engur, dan Engur selalu setia mendengarkan. Kemanapun mereka pergi pasti selalu berdua, Engur selalu bertengger di bahu Angka.

Suatu siang yang cengdem, menceng tapi adem, keduanya sedang asyik bercengkrama di atas sebuah pohon di puncak bukit itu. Menikmati pemandangan ayah Angka yang sedang menikmati pemandangan indah di bawah bukit.

Angka : "Ngur, kamu tahu tidak ayahku sedang apa?"

Engur : 

Angka : "Ayah sedang tidak galau."

Engur :

Angka : "Sekarang, kamu tahu aku sedang apa?"

Engur :

Angka : "Aku yang sedang galau, Ngur. Benakku dipenuhi oleh banyak pertanyaan yang mengganjal."

Engur :

Angka : "Aku kasih kamu tahu deh, ya, aku sedang dipenuhi oleh pertanyaan yang semuanya sama, yaitu, "Apa itu cinta?""

Engur : *mengeluarkan kotoran dari bagian belakang tubuhnya

Angka : "Apa maksudmu, Ngur?"

Engur : *memutar kepalanya 180 derajat

Angka : "Hmmm..."

Engur : *mematuki tangkai tempatnya bertengger

Angka : "Aku menjadi sedikit bingung mendengar pendapatmu. Tapi, Ngur..."

Engur : *tuk..tuk..tuktuk......tuktuk..tuk

Angka : "Ah, kau benar juga. Mungkin aku hanya gila, melankolia teralu lama berselimut bersamaku."

Engur : *tiba-tiba saja mengepakkan sayapnya lalu terbang menjauh ke arah bawah bukit

Angka : "ENGUR!!!!!!!!!"

Engur : *terbang makin jauh

Angka : "NITIP TEH GELAAASSSSSSS!!!!!"

Engur : *manuver berputar 360 derajat

Angka : "DUAAAAAAAAAAAAAA, NGURR!!!!!!!!!!!!!!!!!!"


Sejak saat itu, Ngurub Utnah tak pernah kembali lagi ke sisi Semangka. Entah apa yang ada di pikiran Ngurub Utnah pada saat memutuskan untuk meninggalkan sahabat baiknya itu. Hanya satu hal yang bisa kuceritakan, terakhir dari cerita ini. Pada akhir senja itu, di bawah pohon, di atas tanah merahnya, dengan sepotong ranting Semangka menulis sebuah sajak :

[TENTANG CINTA]

[Cinta hanya sebuah tanda tanya
Dan akan tetap menjadi sebuah tanda tanya
Sungguh benar dikata kawanku Ngurub Utnah
"Usah kau bermenung, cinta adalah yang penting kamu bahagia, Semangka, dalam hati."
Maka pada ayah dan ibuku aku kembali.]


Malam itu, turun hujan yang lebat tiada dua. Menyebabkan erosi-erosi kecil di bukit tua.

Sajak curahan hati Semangka pun hilang sudah disapu hujan.

Semangka tertidur makin pulas setelah berkata, "Hujan. Ngeunah sare euy ieu mah."

Sebuah senyum lugu terlukis di antara dua pipinya yang bulat.

No comments:

Post a Comment

komennya yang asik-asik aja ya frend...hhe.