Sunday, 26 April 2020

CERITA SEBELUM TIDUR


Prolog

Hari ini adalah hari yang berat dan melelahkan. Rasanya bahkan jauh melebihi beratnya hari-hari kemarin yang terasa normal dan biasa. Seperti seorang anak kecil yang sedang marah—hanya saja lebih pasrah— begitu tiba di dalam kamar, dengan segera kau lemparkan tubuhmu ke atas tempat tidur sambil mendengus. Pintu kamar terkunci dan lampu kamar telah redup.

Pekerjaan. Perjuangan. Perasaan.

Kini kau terkurung bersama hal-hal yang menelanmu perlahan ke dalam lumpur kelelahan yang tak berkesudahan.

Hampir saja kau melupakan sesuatu. Beruntungnya dirimu, beberapa titik air mata yang jatuh tak sampai membuatmu melupakan sosok anak kecil yang ada dalam dirimu, karena anak kecil itulah yang akan membawamu pergi dari dunia anak-anak besar kini.

Kau boleh menangis, tapi jangan terus-terusan, kata anak itu.

Dengan pipi basah tersedu, bibirmu mancung dan cemberut. Kau lelah.

Aku tahu. Yuk, kita pergi saja malam ini. Jalan-jalan. Kau mau ke mana?

Kau tahu dunia anak-anak besar sama saja di mana pun. Kau juga tahu pergi ke mana pun, kalau masih di dunia anak-anak besar pasti masih begitu-begitu saja. Makanya kau bilang pada anak kecilmu itu, bahwa kau ingin pergi jauh dan tinggi, tinggi sekali. Kau bilang, kau ingin pergi ke langit ketujuh, ke istana Sang Raja. Katamu, Sang Raja yang Maha Penyayang mestilah akan mau menerima seorang hamba yang kelelahan.

Kau bisa terbang?

Iya, juga, pikirmu. Kau balik bertanya pada si anak kecilmu pertanyaan yang sama.

Tentu saja aku bisa! Semua anak kecil kan bisa terbang. Ayo, mudah-mudahan kau masih ingat caranya terbang.

Kau pun mulai memejamkan mata sembab itu. Sambil berpegangan tangan dengan anak kecilmu, perlahan kau mulai menjadi sangat ringan dan mulai melayang perlahan.

*

Lapisan Langit Pertama

Setelah melewati beberapa kabel listrik yang semrawut, tak lama kau mulai bisa menyaksikan pemandangan lansekap hamparan lampu-lampu kota yang berserakan. Mau menghitung bukannya malas, tapi seperti bintang di angkasa, tentu terlalu banyak.

Langit pertama ada di balik lapisan awan yang cukup tebal. Tak akan lama lagi. Dan jangan lupakan sains, semakin tinggi maka oksigen akan semakin tipis.

Kau mengangguk, tandanya? Paham. Sesaat setelahnya kau mulai memasuki lapisan awan tebal yang memisahkan pandangan mata dari melihat lampu-lampu kota. Di awan agak dingin, tapi tidak lama, karena segera kau akhirnya sampai di lapisan langit yang pertama.
Tadaaaa~

Kau tampak sangat terkesan melihat keadaan lapisan langit pertama di malam hari. Tentu saja karena ini pengalaman pertamamu, kan? Siapa sangka malam ini kau bisa berdiri di atas awan.

Awan rasanya sejuk dingin-dingin empuk di telapak kaki. Dari bumi terlihat seperti sangat lembut bagai permen kapas, nyatanya malah jauh lebih lembut. Telapak kakimu terlihat seperti sedang bernafas ketika jari-jarinya meregang mencoba menggaruk-garuk lembutnya awan di langit. Kau mulai tersenyum dan sedikit terkekeh pelan.

Di sini tempatnya pelangi, lho.

Masa? Mana? Karena tidak kelihatan olehmu.

Kan sekarang malam hari, nggak mungkin dinyalain.

Hmm, masuk akal.

Itu! Lihat!

Anak kecilmu menunjuk ke arah datangnya cahaya bulan, matamu bergerak mengikuti telunjuknya. Sebuah toko permen! Apalagi kalau bukan permen kapas. Kau dan anak itu segera memesan masing-masing satu permen kapas yang terbuat dari awan yang diberi rasa manis dari serpihan rambut unicorn. Permen kapas di sini harganya murah dan menyenangkan, cukup dengan sebuah senyuman maka kau bisa mendapatkan sebuah permen kapas.

Setelah permen kapas, kau memutuska untuk sebentar melihat-lihat keadaan di lapisan langit pertama. Kau bisa membayangkannya bukan? Apa yang kau lihat, seperti seorang anak lelaki kecil berupa siluet yang membawa alat pancing. Orang aneh yang sedang bersepeda di kejauhan di depan cahaya bulan. Atau seorang wanita Roma yang berjalan-jalan dengan sebuah obor di tangan kanannya. Heh, aneh juga rupanya di sini, tapi menyenangkan, pikirmu. Kau memutuskan untuk lain waktu kembali kemari saat pelangi sedang menyala.

Kau mengiyakan saat anak kecilmu menawari untuk melanjutkan perjalanan ke lapisan langit kedua.

*

Lapisan Langit Kedua

Mendekati langit kedua, tubuhmu rasanya kok semakin ringan saja ya. Oh, karena gravitasi, bukan? Oksigen juga semakin menipis. Berdasarkan pada ilmu di bumi, kau mulai menguap karena kekurangan oksigen. Betul juga, bukan?

Hoaaahmm… Selamat datang di lapisan langit kedua~

Di lapisan langit kedua kau mulai keluar dari atmosfer bumi. Gila betul, di sini oksigen sangat tipis dan kau menguap panjaaaaaang sekali seperti air yang sedang direbus sampai mendidih. Saking panjangnya sampai matamu berair dan menjadi berat. Anak kecilmu juga mulai mengalami hal serupa.

Tahu tidak? Di sini tempat tinggalnya unicorn, lho? Mau lihat?

Tentu saja kau mau. Berdua, kau dan anak kecilmu melayang menuju ke sebuah tempat di belakang bulan yang pucat bersinar. Dan betapa takjubnya dirimu melihat ada puluhan ekor unicorn tengah asyik berjemur di bawah sinar rembulan. Di antara begitu banyak unicorn, matamu menangkap sesosok bapak-bapak serupa seorang gembala yang sedang duduk di bawah sebuah pohon yang melayang tak tertanam—ya mau ditanam di mana. Kau dan anak kecilmu menghampiri si bapak gembala.

Punten (permisi), Pak. Sedang apa?

“Eh, ada orang. Biasa saya mah, lagi ngangon unicorn.”

Oohh.

Kau tidak ikut bicara, hanya menyimak.

Hoaaahmm… Ini unicorn punya bapak semua?

“Bukan. Bukan punya bapak. Ini mah punya Yang Maha Sang Hyang Raja.”

Oohh. Bapak disuruh ngangon unicorn?

“Ah, tidak juga.”

Terus kenapa bapak ngangon?

“Ini si Atip.”

Sambil menguap, kau menunjukkan ekspresi bingung. Anak kecilmu juga begitu.

Si Atip?

“Lho, kok tidak tahu?”

Atip yang mana, Pak? Saya tidak kenal, kami dari bumi. Siapakah Atip?

“Eeehh. Bukan Atip itu. Maksud saya, ini si Atip yang merupakan keinginan sendiri tanpa ada dorongan atau pengaruh dari pihak-pihak di luar pribadi diri saya sendiri.”

Ooooohhh, inistiatif, Bapak. Hoaaaaahhmmm…

“Kalian dari bumi? Mau ke mana?”

Kami mau ke langit ketujuh pak, menemui Sang Raja.
Hoaaahhmmmm…..

Menguap lagi. Ngantuk betul kau rupanya ya.

“Ooh, menemui Sang Raja. Memangnya sudah waktunya?”

Waktunya apa, Pak?

“Bertemu Sang Maha Raja.”

Kurang tahu, Pak. Tapi kasihan teman saya sedang sedih, katanya Sang Raja Maha Menyayangi, mestilah mau menerima teman saya yang sedih ini barang sejenak. Hoaaahhmm…

“Ohh, setahu saya nggak begitu, sih, sistemnya. Biasanya mah dipanggil.”

Begitu ya, Pak.

“Begitu, Nak. Tapi ya silakan dicoba saja kalau penasaran.”

Baik, Pak. Hoaaaammmm…

“Hati-hati di jalan ya. Semoga selamat sampai ke tujuan.”

Terimakasih, Bapak. Dadah. Hoaaaahhhmmm…

Tapi sebelum menuju ke lapisan langit ketiga, katamu kau ingin lebih dulu bisa menginjak bulan. Maka kau melayang menuju ke bulan bersama anak kecilmu. Berdua kau duduk-duduk di tengah bulan sambil menikmati pemandangan malam dari bulan. Bumi kelihatan, venus terlihat, mars ada, bintang-bintang banyak bertaburan, dan unicorn-unicorn yang rambutnya warna-warni seperti Avril Lavigne waktu masih muda.

Kau bertanya pada anak kecilmu tentang indahnya malam ini, indah ketika kau pergi menjauhi dunia anak-anak besar.

Hoaaaahhmm… Iya, ya? Tapi ngantuk begini.

Karena suplai oksigen ke otak sudah sangat minim, maka menguap kau tak tertahankan. Menguap teramat panjang sampai mata menangis karena mengantuk. Lalu katamu pada anak kecilmu, kau meminta untuk tertidur sejenak. Di sini saja, di bulan saja, sebentar saja. Sebelum nanti melanjutkan perjalanan lagi menuju istana Sang Raja di langit ketujuh.

Hoooaaaahhmmmm… Baiklah.

*

Epilog

Dalam sebuah mimpi di malam hari, seorang utusan Sang Hyang Raja datang membawa sebuah surat resmi kerajaan, yang bertitah sebagaimana yang tercantum sebagai berikut:

Kepada,
Yang Kami sayangi selalu

di Bumi

Untuk diketahui agar tidak terkejut saat terbangun kelak, bahwa perjalananmu menuju langit ketujuh telah Kami ketahui. Kami senang melihatmu malam ini, akan tetapi kau belum mampu menempuh perjalanan menuju ke langit ketujuh, baik secara fisik, psikis, maupun ruh sekalipun, karena memang belum waktunya.

Dengan demikian Kami meminta Atip si gembala untuk mengantarkanmu kembali menuju kediamanmu di dunia anak-anak besar.

Mengenai dunia anak-anak besar, ketahuilah olehmu, bahwa itu adalah dunia yang tak bisa kau hindari. Itu adalah dunia yang mesti kau tempuh dan kau jalani.

Dan ketahuilah olehmu, bahwa di dunia anak-anak besar nanti, Kami telah menyiapkan hal-hal baik dan manis untuk kau syukuri.

Maka dari itu, ketahuilah olehmu dan jangan sekalipun kau lupakan, bahwa dalam dirimu akan selalu ada seorang anak kecil yang tak akan membiarkanmu tersesat kehilangan arah. Serta ketahuilah olehmu, bahwa Kami amat sangat menyayangimu, apapun yang terjadi.

Dengan demikian, secara resmi kami memberikan titah kepadamu untuk bersabar, bersyukur, dan senantiasa berbahagia sebagai seorang anak besar dan sebagai seorang anak kecil.

Apabila di kemudian hari kau merasakan kesedihan serupa dan muncul rasa ingin menyerah, maka pejamkanlah matamu dan terbanglah sesuka hati. Menjelajahi ruang-ruang di mimpi, atau sekadar menemui Atip si gembala yang senantiasa jenaka.

Sekian, dan tersenyumlah.