Friday, 9 August 2019

SEPASANG MEMOAR

Katakanlah padaku semua yang kau tahu. Ceritakan padaku semua yang kau dengar dan lihat, tentang musim rambutan saat bulan sedang Januari. Ya, Januari yang itu, tahun 2012. Januari yang dimulai saat kau melihat beberapa anak kecil tengah berkumpul dan bermain di bawah sebuah pohon kersen yang buahnya tinggal sedikit dan berwarna hijau. Katamu itu adalah sore hari yang cerah dan menyenangkan, karena anak-anak itu terlihat senang. Mereka bergantian satu dan lainnya berayun-ayun dengan sebuah ayunan yang tergantung di salah satu dahan pohon kersen tersebut. Oh, kau juga ingat rupanya, ternyata ada tiga orang anak laki-laki yang sedang bertengger di dahan-dahan pohon tersebut. Sepertinya mencari sisa-sisa buah yang kemerahan, mudah-mudahan masih ada.

Kau mengingatkanku, bahwa akulah dulu yang pertama memasang ayunan itu di pohon kersen. Ayunan kecil dari sebilah potongan bambu yang diikat ke atas dahan menggunakan tali yang biasa digunakan orang dewasa memanjat tebing, apa namanya? Webbing, ya? Tentu saja aku ingat, karena aku tak sendiri memasangnya, aku bersama beberapa kawan yang memang biasa 'menunggui' pohon kersen itu. Kau juga bersamaku? Ya, ya, tentu saja aku ingat semuanya.

Kau dan aku jadi terdiam sesaat, kita sepertinya sedang kembali ke sore itu di bulan Januari. Sepertinya kau sambil tersenyum, karena aku juga. Sampai kau berseru, Hei, katamu, selain anak-anak di bawah pohon kersen, itu juga ada sekumpulan anak laki-laki yang sedang bermain bola. Bolanya plastik, lapangannya bundar, bergawang batu. Kau ceritakan kalau lapangan itu tak jauh dari pohon kersen yang dipasangi ayunan bambu. Ya, ya, dan kalau tendangan mereka salah sasaran, bolanya akan melayang dan jatuh di antara tanaman-tanaman yang rimbun di pinggir lapangan. Tapi bukan semak-semak, kan, ya? Bukan, katamu mengamini. Ah, lihat anak yang berkulit gelap itu, dia membuka baju dan bertelanjang dada. Berkeringat dan tak peduli sedikit pun. Itu, yang ikal dan kurus, sepertinya kakinya kapalan, lapangannya kasar. Katamu sepertinya beberapa dari mereka juga jadi kapalan tapak kakinya. Lihat, yang gempal itu malah sampai lecet jempol kakinya. Nah, kan! Bolanya terbang ke yang bukan semak-semak tadi. Kau tertawa.

Ada apa lagi sore itu, ingatkan aku. Dendi? Dandi? Rasanya Dandi. Seorang anak lelaki kecil yang sering datang berkunjung. Tentu saja dia yang datang sambil membawa kotak dagangannya itu, kan. Beberapa gorengan dan kue-kue manis. Ya, membantu orangtua katanya. Katamu aku atau beberapa kawanku selalu membelinya. Tentu saja harus kami beli. Kau ingat? Bahkan salah satu kawan tidak hanya membeli dari Dandi, tapi juga membelikan Dandi jajanan lainnya. Dandi jangan jualan saja, Dandi juga harus kebagian rasanya jajan. Wajah Dandi kecil aku masih ingat betul, kau juga demikian, senyumnya polos.

Ah. Angin bertiup pelan sore itu, katamu.

Aku agak lupa, bisakah kau ingatkan, di manakah aku dan kawan-kawanku sore itu?

Kami ada di mana-mana katamu? Kau jawab, Ya. Menurut keteranganmu yang reliabel, kami ada di mana-mana. Kami ada bersama anak-anak yang bermain di bawah pohon kersen itu. Kami terbang di atas ayunan bambu bergantian seperti anak kecil. Kami juga ada bersama tiga anak laki-laki yang berada di dahan-dahan pohon kersen, mencari sisa-sisa buah yang ranum. Kami juga bermain bola di lapangan yang bundar? Ya. Ya ampun. Tentu saja kami juga sedang bersama Dandi kecil si penjual kue ya? Tentu.

Ah. Kurasa sore itu tak terasa panjang jika demikian adanya seperti yang kau ceritakan. Tolong katakan padaku, bagaimana sore itu berakhir, kawan? Sore itu, katamu, berakhir ketika anak-anak kecil, yang laki-laki dan yang perempuan kemudian pulang menjelang adzan maghrib. Meninggalkan suasana yang dramatis saat matahari mulai terbenam di antara celah dua gedung yang bersebelahan. Bagaimana kami berakhir sore itu, kawan? Oh, Tidak, katamu. Katamu kami tak pernah berakhir, bahkan tak sekalipun pergi dari lapangan dan pohon kersen itu. Katamu kami bermalam di depan perapian dan selembar daun pisang yang di atasnya ada nasi, tempe, tahu, telur dadar, sayuran. Sambal dan kerupuk? Ya, itu juga. Katamu, setelah itu pun kami tak pernah sekalipun pergi ke mana. Kami di sana selalu, sampai pagi datang lagi. Sampai Sore datang lagi. Sampai anak-anak kecil kembali bermain dengan semuanya. Katamu, kami 'menunggui' semuanya. Katamu, kami seolah lahir di sana. Katamu, seolah kami juga akan menutup mata kami yang kelak lelah di sana. Atau katamu, pohon kersen itu, buah-buahnya yang ranum dan yang belum itu, ayunan bambu yang tergantung itu, lapangan yang kasar mukanya itu, batu-batu yang disusun menjadi gawang itu, tenaman-tanaman rimbun di pinggiran itu, Dandi dan gorengan serta kue-kue manisnya itu, matahari yang terbenam di antara dua gedung itu, perapian kecil yang remang-remang itu, semuanya bersama kami, ke mana pun. Semuanya adalah kami, di mana pun. Semuanya menyertai kami, sampai kapan pun.

Kawan, kau juga harus, bersama semuanya itu menyertai kami. Ceritakan lagi Januari sore itu pada kami yang nanti tua dan renta. Ceritakan lagi, Januari sore itu, agar kami tak berakhir dan saling lupa. Ceritakan lagi, angin Januari sore itu, supaya lembutnya berbisik di telinga kami di tanah yang merah.