Sore sedang hujan. Karena boleh, jalan dan trotoar di sebelah kedai kopi sederhana menjadi basah. Karena bisa, meski tertutupi teritisan atap, daun-daun tanaman Li Quan Yu yang menjuntai tergantung juga ikut basah, dan itu persis di muka kedai kopi. Apalagi kursi-kursi besi dan meja-meja besi yang putih di pelataran depan kedai, lebih basah lagi. Menjadikannya kosong dan sepi karena hujan memang masih.
Tepi tengok ke dalam kedai. Di balik kaca jendela yang separuhnya ditempeli bintik-bintik percik air hujan, padahal bingkainya berwarna putih dan bernama jendela. Di baliknya ada orang-orang yang berteduh dari hujan. Atau dari pekerjaan. Atau dari kehidupan. Atau dari waktu. Tapi tahukah mereka? Berteduhnya hanya sementara, menunggu cuma sampai reda. Kamu tentu tahu.
Jendela lainnya punya kaca yang bening, sama seperti yang sebelumnya. Jendela ini punya kaca yang sama, separuhnya basah oleh bintik, padahal bingkainya yang aluminium sudah diberi warna putih, juga diberi nama yang sama. Jendela. Tapi jendela yang satu ini spesial, karena di baliknya ada aku. Yang bersama secangkir kopi, hadir karena kupesan.
Aku hadir karena sama berteduh dari hujan. Atau dari pekerjaan. Atau dari kehidupan. Atau dari waktu. Aku pakai jaket karena dingin. Aku pakai sebuah celana jeans karena warnanya biru dan mulai pudar. Juga pakai sepasang sepatu boots warna cokelat karena sudah terlanjur dibeli. Tentu saja, aku sedang sambil menulis karena pegang pulpen dan punya buku tulis. Apa yang kutulis kau takkan tahu karena menurutku itu rahasia.
Tapi ini sungguh bukan rahasia. Karena tiba-tiba lonceng-lonceng kecil yang tergantung di atas pintu masuk pada bergoyang. Menjadi terdengar bunyi-bunyi berkerincing karena pintunya terbuka. Atau dibuka. Menyebabkan mataku jadi awas dan terkunci pada apa yang datang dari pintu masuk. Menjadi aneh karena yang mendengar suara lonceng adalah kupingku, yang daunnya panjang sebelah.
Sungguh bukan rahasia. Ternyata manusia. Entah bernama siapa. Dan betul perempuan, seorang perempuan betulan. Pasti karena dingin, dia pakai sebuah sweater rajut warna hitam berlapis parka dengan warna senada tapi lebih muda yang kau sebut apa? Abu-abu? Terserah. Dia juga pakai celana jeans dengan warna yang lebih gelap dari jeansku, dan belum pudar. Jeans itu dipakai karena dia punya. Alasan yang sama seperti sepatu kets hitam-putih yang dipakainya. Itu juga membuatnya jadi membawa sebuah totebag hitam. Dan tentu saja kerudungnya berwarna hitam, karena dijual hitam dan menjadi miliknya setelah dibeli.
Ditepis-tepisnya basah yang separuhnya melekat pada apa yang dipakainya. Pintu kembali menutup, lonceng lagi berbunyi, namun tak lagi kudengar. Berjalan dia ke arah kasir. Kupastikan itu adalah karena dia kedinginan dan mau pesan sesuatu yang hangat. Mungkin kopi. Pasti untuk dia sendiri. Bukan untukku. Atau belum. Aduh. Postur tubuhnya agak mungil. Tidak lebih mungil dari mutiara. Tapi lebih indah dia. Tak seperti kupu-kupu. Dia lalu mencari tempat duduk dengan cara berjalan kaki. Sementara merak warna-warni, dia tidak. Tapi lihatlah, dia lebih anggun. Dia sudah selesai mencari tempat duduk. Hal itu membuatnya jadi duduk dan sama berteduh. Di samping jendela lainnya. Dan membuat jendela tersebut jauh lebih spesial ketimbang jendela di sebelahku. Jendelanya itu, di sebelah kursi dan meja. Persis di depan meja tempat aku sudah lebih dulu duduk.
Heh. Tepat di depanku!
Sekilas dilihatnya orang yang duduk di meja depan meja tempatnya duduk. Seorang laki-laki kikuk yang tiba-tiba pura-pura berpikir dan sibuk menulis. Aduh. Tentu saja itu aku. Yang tiba-tiba langsung menyeruput kopi entah kenapa. Sementara dia perempuan tampak tidak terlalu peduli juga, tapi sempat menahan senyum yang entah karena apa. Lalu duduk diam dan mulai asyik dengan smartphone di tangannya.
Musik folk terdengar mendayu-dayu di seantero kedai kopi. Itu karena suaranya keluar dari speaker kedai. Meski samar-samar, suara hujan yang sudah sedari tadi turun ramai-ramai semakin deras. Perempuan mungil di depanku mulai menikmati pesanannya yang sudah datang dan berupa secangkir teh yang rasanya manis lagi hangat. Aku sendiri kelihatannya masih serius menulis sesuatu yang rahasia. Tapi apa yang kutulis tak lagi penting. Itu tentu saja karena aku hanya pura-pura belaka. Pura-pura oleh sebab perempuan di depanku rupanya seorang pencuri. Yang sesekali tersenyum di depan layar smartphonenya. Apa-apaan. Manis begitu. Yang menghangatkan telapak tangannya pada cangkir tehnya yang manis lagi hangat. Yang wajahnya terpapar sinar kuning merkuri lampu kedai karena hari menjelang senja dan matahari perlahan kalah terang darinya. Menyebabkan aku jadi kehilangan konsentrasi menulis yang sebelumnya kumiliki. Menyebabkan segala rahasia semesta yang kutulis seakan hilang nilai dan pendar. Membuat aku menjadi berjuta. Menyebabkan aku senang mencuri pandang.
Kawan, tahukah engkau, bahwa yoghurt lezat karena fermentasi, sedang kopi kuat karena argumentasi. Mengapa kutulis demikian? Entah. Karena sebagaimana kau sudah tahu. Perasaan bukan bagian dari persamaan matematika. Juga bukan termasuk dalam kategori hal yang berjudul logika. Mudah-mudahan kau setuju begitu. Sehingga entah kenapa lalu kutulis sesuatu di atas secarik kertas. Sehingga entah kenapa pula aku berdiri meninggalkan mejaku. Sehingga entah kenapa aku berjalan setengah kikuk menuju perempuan yang ada di depanku. Menyebabkan aku jadi menyerahkan secarik kertas yang kutulisi sebelumnya.
Tulisan yang ini bukan rahasia, sehingga jika kau baca perlahan akan kau dapati sebuah tulisan tanganku berbunyi:
SERENDIPITY KEDAI SENJA
TIADA PERNAH ADA
PERMATA YANG MENCURI MANUSIA
KECUALI DI KEDAI INI
IALAH NONA YANG PERTAMA
BELUM HABIS HUJAN REDA
BERTEDUH DI KEDAI SAMPAI HABIS SENJA
JIKALAH KU DUDUK DI KURSI INI
SUDIKAH NONA BERBAGI MEJA?
Sungguh bukan rahasia. Ternyata manusia. Entah bernama siapa. Dan betul perempuan, seorang perempuan betulan. Pasti karena dingin, dia pakai sebuah sweater rajut warna hitam berlapis parka dengan warna senada tapi lebih muda yang kau sebut apa? Abu-abu? Terserah. Dia juga pakai celana jeans dengan warna yang lebih gelap dari jeansku, dan belum pudar. Jeans itu dipakai karena dia punya. Alasan yang sama seperti sepatu kets hitam-putih yang dipakainya. Itu juga membuatnya jadi membawa sebuah totebag hitam. Dan tentu saja kerudungnya berwarna hitam, karena dijual hitam dan menjadi miliknya setelah dibeli.
Ditepis-tepisnya basah yang separuhnya melekat pada apa yang dipakainya. Pintu kembali menutup, lonceng lagi berbunyi, namun tak lagi kudengar. Berjalan dia ke arah kasir. Kupastikan itu adalah karena dia kedinginan dan mau pesan sesuatu yang hangat. Mungkin kopi. Pasti untuk dia sendiri. Bukan untukku. Atau belum. Aduh. Postur tubuhnya agak mungil. Tidak lebih mungil dari mutiara. Tapi lebih indah dia. Tak seperti kupu-kupu. Dia lalu mencari tempat duduk dengan cara berjalan kaki. Sementara merak warna-warni, dia tidak. Tapi lihatlah, dia lebih anggun. Dia sudah selesai mencari tempat duduk. Hal itu membuatnya jadi duduk dan sama berteduh. Di samping jendela lainnya. Dan membuat jendela tersebut jauh lebih spesial ketimbang jendela di sebelahku. Jendelanya itu, di sebelah kursi dan meja. Persis di depan meja tempat aku sudah lebih dulu duduk.
Heh. Tepat di depanku!
Sekilas dilihatnya orang yang duduk di meja depan meja tempatnya duduk. Seorang laki-laki kikuk yang tiba-tiba pura-pura berpikir dan sibuk menulis. Aduh. Tentu saja itu aku. Yang tiba-tiba langsung menyeruput kopi entah kenapa. Sementara dia perempuan tampak tidak terlalu peduli juga, tapi sempat menahan senyum yang entah karena apa. Lalu duduk diam dan mulai asyik dengan smartphone di tangannya.
Musik folk terdengar mendayu-dayu di seantero kedai kopi. Itu karena suaranya keluar dari speaker kedai. Meski samar-samar, suara hujan yang sudah sedari tadi turun ramai-ramai semakin deras. Perempuan mungil di depanku mulai menikmati pesanannya yang sudah datang dan berupa secangkir teh yang rasanya manis lagi hangat. Aku sendiri kelihatannya masih serius menulis sesuatu yang rahasia. Tapi apa yang kutulis tak lagi penting. Itu tentu saja karena aku hanya pura-pura belaka. Pura-pura oleh sebab perempuan di depanku rupanya seorang pencuri. Yang sesekali tersenyum di depan layar smartphonenya. Apa-apaan. Manis begitu. Yang menghangatkan telapak tangannya pada cangkir tehnya yang manis lagi hangat. Yang wajahnya terpapar sinar kuning merkuri lampu kedai karena hari menjelang senja dan matahari perlahan kalah terang darinya. Menyebabkan aku jadi kehilangan konsentrasi menulis yang sebelumnya kumiliki. Menyebabkan segala rahasia semesta yang kutulis seakan hilang nilai dan pendar. Membuat aku menjadi berjuta. Menyebabkan aku senang mencuri pandang.
Kawan, tahukah engkau, bahwa yoghurt lezat karena fermentasi, sedang kopi kuat karena argumentasi. Mengapa kutulis demikian? Entah. Karena sebagaimana kau sudah tahu. Perasaan bukan bagian dari persamaan matematika. Juga bukan termasuk dalam kategori hal yang berjudul logika. Mudah-mudahan kau setuju begitu. Sehingga entah kenapa lalu kutulis sesuatu di atas secarik kertas. Sehingga entah kenapa pula aku berdiri meninggalkan mejaku. Sehingga entah kenapa aku berjalan setengah kikuk menuju perempuan yang ada di depanku. Menyebabkan aku jadi menyerahkan secarik kertas yang kutulisi sebelumnya.
Tulisan yang ini bukan rahasia, sehingga jika kau baca perlahan akan kau dapati sebuah tulisan tanganku berbunyi:
SERENDIPITY KEDAI SENJA
TIADA PERNAH ADA
PERMATA YANG MENCURI MANUSIA
KECUALI DI KEDAI INI
IALAH NONA YANG PERTAMA
BELUM HABIS HUJAN REDA
BERTEDUH DI KEDAI SAMPAI HABIS SENJA
JIKALAH KU DUDUK DI KURSI INI
SUDIKAH NONA BERBAGI MEJA?