Tuesday, 20 November 2018

JURNAL PERJALANAN KE JOGJA


Jurnal Perjalanan ke Jogja, 10-16 November 2018

Sepuluh November. Bulan Penghujan. Sejak lepas zuhur Bandung sudah mulai hujan seperti biasa. Seperti kemarin dan sebelumnya. Meski agak menghambat beberapa aktivitas, hujan tetap adalah berkah dan jangan kau debat itu. Membuat Bandung jadi setengah rindu dan setengah sendu.

Aku akan ke Jogja hari ini. Untuk ke sana, pilihan jatuh pada kereta Kahuripan. Yang dibuat murah pemerintah. Dan diatur untuk berangkat pada pukul 18.10. kereta Kahuripan adalah kereta kelas ekonomi. Kereta dengan harga tiket paling murah disbanding kelas-kelas lain. Dengan harga yang paling murah, penumpang Kahuripan mayoritasnya adalah masyarakat menengah ke bawah. Seperti aku.

Lihat. Ada bapak-bapak. Ada ibu-ibu. Ada anak-anak. Ada kakek-kakek. Ada nenek-nenek. Ada mas-mas. Ada mbak-mbak. Ada yang sendiri. Ada yang berdua. Ada yang bersama keluarga. Ada yang bersama kawan-kawannya. Aku sendiri. Yang lain, masing-masing dan bersama masing-masingnya.

Lihat. Ada AC, Air Conditioner. Ada stop kontak. Ada pengeras suara. Ada pengharum ruangan. Ada yang dulu tidak ada, sekarang jadi ada di kereta ekonomi. Itu semua karena ulah pemerintah. Yang mau jadi lebih maju. Bersama dengan restu dan suara rakyatnya yang jelata. Meninggalkan aku dalam memori kereta api ekonomi zaman dulu di kenangan yang samar-samar.

Samar-samar itu ada di sekitar tahun 2005-2006. Jogja pertama dengan kereta ekonomi. Yang tidak ada AC, Air Conditioner. Yang tidak ada stop kontak. Yang tidak ada pengeras suara. Yang tidak ada pengharum ruangan. Lalu apa yang ada? Jika kau juga pernah, mari kita kenang bersama.

Kereta api ekonomi zaman itu tentu saja jauh lebih murah disbanding yang sekarang. Sebuah kereta api dari pemerintah untuk masyarakat menengah dan benar-benar bawah. Kereta ekonomi zaman itu bisa disebut kereta yang miskin. Sekaligus sangat kaya. Kaya bagaimana? Kaya raya. Tentu saja. Bagaimana tidak?

Lihat. Ada bapak-bapak. Ada ibu-ibu. Ada anak-anak. Ada kakek-kakek. Ada nenek-nenek. Ada mas-mas. Ada mbak-mbak. Ada begitu banyak manusia dalam satu gerbong. Di segala penjuru. Di tempat duduk. Di tempat berdiri. Di tempat sirkulasi jalan. Di kolong tempat duduk, tidur beralas koran. Di bordes-bordes sambungan gerbong. Di atap gerbong kereta. Di setiap ruang yang bisa diisi oleh manusia, di situ manusia berada. Manusia yang duduk. Manusia yang berdiri. Manusia yang berbaring. Manusia yang berdesakan. Manusia yang lalu-lalang di padat gerbong. Manusia yang dilangkahi. Manusia yang membawa pulang bahan belanja. Manusia yang baru pulang mengumpulkan rumput untuk ternaknya. Manusia yang berjualan. Berjualan aneka. Lotek. Pecel. Ayam goring. Nasi rames. Nasi bungkus. Nasi kuning. Kacang. Tahu. Permen. Cendol. Teh. Sirup. Rokok. Kopi. Lengkap.bahkan sekali waktu juga ada ayam. Yang masih hidup. Naik kereta tentu karena dibawa oleh manusia. Dan sebagainya.

Kereta api ekonomi hari ini tentu jauh lebih nyaman. Lebih rapi. Lebih wangi. Lebih elok. Lebih memanusiakan manusia. Apalagi kelas bisnis dan eksekutif. Jangan sekali-sekali kau bandingkan. Kereta api ekonomi yang dulu memang jauh tertinggal, tapi bagiku, juga lebih kaya. Jauh lebih bernilai. Kaya akan nilai. Karena kita betul amat bersentuhan dengan lapisan bawah masyarakat sampai ke urat nadi. Sampai ke realita kehidupan. Sampai setara dengan seekor ayam. Semua itu larut dalam kenangan perjalanan.

Oh. Ini sudah sampai mana? Aku kurang tahu. Sudah jam berapa? Aku kurang tahu. Karena aku hanyalah makhluk yang segala kurang dan penuh cela. Tapi beberapa anak di gerbong masih saling bercanda. Beberapa orang mulai tertidur. Atau bermenung menatap ke luar jendela gerbong. Mencari titik-titik lampu di kegelapan. Mencari titik-titik takdir di kehidupan. Oh, jangan khawatir penumpang sekalian. Saat ini takdir kita semua sama. Berjalan di atas rel dan bantalan-bantalan kayu dan kerikil. Bersiul di antara angin yang berdesau di dinding gerbong. Dituntun sebuah lolongan panjang klakson kereta api yang mantap melaju tanpa melirik ke masa yang lalu.
-
Pengeras suara buka suara. Kita mendekati stasiun Cipeundeuy. Di manakah Cipeundeuy? Aku hanyalah makhluk yang segala kurang dan penuh cela.

Kuletakkan pulpen dan buku, sementara.
-
Pukul 22.12. kereta baru mulai kembali jalan setelah sebelumnya berhenti di Stasiun Banjar. Cukup lama sampai aku sempat menghabiskan sebatang rokok sambil ngobrol santai dengan seorang bapak usia 60. Bapak ini dapat posisi duduk di 20-B, persis di sebelahku. Juga naik kereta api dari Stasiun Kiaracondong. Naik kereta ramai-ramai dengan keluarganya.

“Abdi mah ka Solo, A,” kata Si Bapak. Si Bapak dan keluarganya mau ke Solo.

Kupikir sepertinya bukan untuk berlibur ke Solo. Benar. Rupanya hendak menjenguk saudaranya yang jatuh sakit. Maka marilah bersama kita doakan semoga sakit saudara Si Bapak diringankan dan segera kembali sehat seperti sedia kala. Aamiin.

Seat 19-A. Diisi oleh seorang mbak-mbak usia 20an. Dari percakapan antara Si Bapak 20-B dengan Si Mbak 19-A, aku jadi tahu kalau Si Mbak ini ternyata asli Jawa. Di Bandung tinggal bersama suaminya yang juga orang Jawa, kerja di Bandung. Di Bandung, katanya tinggal di daerah Tegallega dan sendiri di kereta hendak pulang ke Jawa Timur. Saat ini Si Mbak sedang asyik main HP dan masih belum diketahui siapa namanya. Mari kita sejenak berdoa agar doa-doa baik senantiasa meliputi Si Mbak dan keluarga. Aamiin.

Seat 19-B. Diketahui adalah keponakan Si Bapak 20-B. Hampir sejak awal pindah ke sekitaran seat 18 untuk bergabung bersama keluarga lainnya.

Seat 19-C. Tidak diketahui siapa pemilik aslinya. Tapi kemudian diisi oleh seorang muda yang merelakan tempat duduk aslinya ditempati keponakan Si Bapak 20-B. Seorang muda yang bernama Faisal setelah kuajak basa-basi. Mas Faisal ini rupanya alumni Kedokteran Hewan UGM angkatan 2010. Sama, aku juga 2010. Dia kerja di daerah Cikalong, semacam dinas peternakan agar sapi-sapi jadi sehat. Jadi gemuk. Dan jadi siap dibuat mati untuk manusia. Mungkin.

Faisal sama denganku. Naik kereta untuk bisa turun di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta.

“Mungkin aku mau ketemu teman lama dulu di Jogja,” kata Faisal, karena Faisal asli Jawa Timur, maka jawab begitu.

Mungkin saja semasa kecil Faisal rajin minum suplemen Scott-Emulsion karena sekarang dia tinggi. Sekitar 175 cm ke atas. Atau karena dia suka main basket. Itu kupikir karena tadi dia nonton video-video pertandingan basket di HP-nya. Faisal punya rambut panjang sebahu seperti aku dulu. Karena seperti aku dulu, maka aku tahu, rambutnya panjang sebahu karena tumbuh setiap hari.

Nah.

Tentu saja selanjutnya seat 20-A. Takkan kulupa cerita. Tapi sebelumnya, marilah juga kita luangkan waktu kembali untuk mendoakan Faisal. Agar segala doa-doa baik senantiasa meliputi Faisal. Di darat, laut, dan udara. Aamiin.

Seat 20-A. Nala. Nala. Nala. Itu namanya untuk kau catat. Seorang teteh-teteh muda yang lebih muda dariku. Kupanggil teteh karena untuk menghormat seorang perempuan.

“Aku asli Bandung,”itu katanya dan tepatnya di Moh. Toha. Mau ke mana, ternyata sama mau ke Jogja.

Teh Nala rupanya baru saja lulus kuliah dari Telkom University jurusan Teknik Industri. Sebelum sidang akhir sudah dapat pekerjaan. Alhamdulillah. Waktu ditanya hendak apa ke Jogja, untuk berlibur sejenak. Semacam short escape katanya sambil tersenyum.

Kau, kawan. Memang rakyat merdeka yang bebas untuk berpendapat. Tapi untuk satu hal ini, khusus tentang Teh Nala, kau dilarang untuk tidak bersepakat.

Teh Nala, menurutku adalah seorang yang periang. Seorang periang yang juga cantik. Seorang periang yang cantik dan beralis tegas. Seorang periang yang cantik, beralis tegas dan berkerudung. Seorang periang yang cantik, beralis tegas, berkerudung dan sekarang sedang tertidur. Bersandar ke sisi jendela.

Apalagi yang mesti kutulis tentang Teh Nala? Selain aku suka.

Apakah hanya di kereta atau ada kesempatan lain di Jogja, bersama Teh Nala. Atau di Bandung? Allah pemegang kuasa. Pemilik jalan segala cerita. Aku malu. Alu berserah pada-Nya. Tanpa mau mengganggu Teh Nala yang sedang tertidur, marilah ikut bersama. Sejenak saja berdoa. Khusus untuk Teh Nala. Semoga segala doa-doa baik senantiasa meliputi segenap Teh Nala. Jaya di darat, laut, dan di udara. Di bumi dan di akhirat. Aamiin.
-
Hampir separuh gerbong tertidur. Aku tidak sedetikpun. Aku juga belum shalat Isya. Semoga kawan sekalian tidak lupa. Maka marilah.
-
(sekitar pukul 01.35, 11 November 2018)

Ke luar jendela melempar pandang
Melepas piker jauh melayang

Siapa sanggup menangkap pandang
Mengunci pikir mengekang layang

-
Sekitar pukul 02.15, menjelang Stasiun Wates, aku bersedih hati.
-
Sekitar pukul 02.15, menjelang Stasiun Wates. Seorang kondektur dan petugas berseragam menghampiri Teh Nala yang sedang tertidur. Memberitakan bahwa Ibu Nabila (Teh Nala), yang akan turun di Wates untuk segera bersiap dan jangan tertidur.

Ada yang salah. Wates masih belum Jogja, atau setidaknya masih daerah pinggiran Jogja. Benar saja. Teh Nala langsung beranjak dan menyusul kondektur dan petugas ke bordes gerbong. Meski tidak terdengar, tapi terlihat bahwa memang ada masalah. Beberapa menit Teh Nala masih terlihat berargumen dengan keduanya. Tak lama, Teh Nala kembali ke dalam. Sepertinya dengan mood yang sangat tidak baik. Kuberanikan bertanya apa yang terjadi.

“Nggak. Mau ngambil tas,” jawab Teh Nala yang kemudian berjalan kea rah bordes dan tak lagi terlihat.

Di Stasiun Wates kereta berhenti. Aku menuju bordes kereta dan menjulurkan kepalaku keluar dari pintu gerbong. Celingukan mencari Teh Nala. Tak terlihat. Bahkan sampai kereta hendak laju kembali. Oh. Rupanya terhalang. Saat kereta laju dan gerbongku melewati peron Stasiun Wates, kudapati Teh Nala sedang duduk. Entah apa yang dinantinya.

Dari balik jendela aku hanya diam melihatnya berlalu.

Ada yang salah. Karena seharusnya Teh Nala juga turun di Stasiun Lempuyangan Jogja. Ada yang sedih, karena seharusnya jika Teh Nala turun di Lempuyangan, sama denganku, aku mau berbicara sedikit lebih lama dengan Teh Nala.

Tapi sungguh Allah pemegang kuasa.

Maka bantulah aku, kawan. Mendoakan Teh Nala baik-baik saja. Selamat sampai di Jogja. Aamiin.
-
Pukul 03.00, 11 November 2018.

Kereta Kahuripan berhenti sempurna di Stasiun Lempuyangan. Setelah berpamitan dengan Si Bapak 20-B, aku dan Mas Faisal berdamai dengan kaki yang selonjoran. Segelas kopi hitam dan beberapa batang rokok. Stasiun Lempuyangan tampak begitu sepi. Terutama tanpa Teh Nala.

Selepas shubuh, jemputanku datang. Mas Harfi, kawanku semasa pesantren dulu yang menjadi tuan rumah selama aku di Jogja kali ini. Apa yang ada antara aku dan Mas Faisal tak banyak. Kututup dan kuikat dalam satu jabat tangan erat antar pria. Saling terimakasih, dan doa-doa baik serta selamat jalan.

Sambutan Mas Harfi sebagai tuan rumah, bagiku luar biasa hangat. Alhamdulillah. Menjelang pagi aku diajak sarapan sate ayam Madura. Lezat dan gratis. Lalu dipersilakan tidur di penginapan miliknya.

Di mana Teh Nala berada?
-
Selepas zuhur, aku, Mas Harfi dan adik-adik Mas Harfi pergi ke arah Gunung Merapi. Juga bersama Kak Tisha, anak Mas Harfi yang manis dan lucu. Kak Tisha sempat duduk di pangkuanku waktu di mobil. Kupikir, betapa bahagianya aku jika kelak jadi seorang ayah.

Kami pergi ke daerah Umbulharjo. Ada Warung Kopi Merapi. Suasana sangat damai. Meski warung amat ramai. Banyak yang wisata jeep di sekitar merapi. Tapi sungguh, aku takkan pernah sudi bayar wisata jeep jika hanya untuk duduk dan menikmati naik dan duduk manis. Sekurangnya, aku hanya sudi membayar untuk duduk di balik kemudi.

Umbulharjo masihlah sebuah pedesaan yang asri. Rumah-rumah di kanan kiri jalan sangat sederhana. Atapnya semua joglo. Sebuah lukisan yang damai.

Di Kopi Merapi, aku pesan kopi arabika susu merapi. Cukup enak. Obrolan banyak diisi topik-topik pekerjaan dan hubungan bisnis di dunia bangunan dengan Mas Harfi. Bentuk arsitektur Warung Kopi Merapi bukan penyebabnya, meskipun ruang-ruang cenderung terbuka tanpa dinding. Hanya struktur-struktur kayu dan bamboo yang diekspos plus meja dari batuan erupsi Merapi yang dibuat rata permukaannya. Tentu atapnya joglo.

Warung Kopi Merapi sore itu amatlah ramai. Kepalaku terus berputar dengan mata yang awas. Teh Nala tidak ada di antara keramaian itu.
-
Angkringan dan Kopi Jos.

Sekitaran pukul Sembilan malam, Mas Harfi mengajakku makan malam. Berangkat kami bertiga dengan Fajri, salah satu adik Mas Harfi.

Erek dahar naon, Tonj? angkringan bae ta sate klatak?”

Itu Mas Harfi Tanya akum au makan apa. Angkringan atau sate klatak. Sate klatak itu sate kambing, tapi tusuk satenya pakai besi jari-jari velg sepeda. Aku yakin pasti enak. Tapi aku pilih angkringan.

Rek ditraktir klatak nu mahal malah pilih nu murah sia mah, haha.”

Artinya : Mau ditraktir yang mahal kok malah pilih yang murah.

Aku ikut tertawa. Nyengir.

Buat aku, mahalnya sate klatak hanya secara nilai ekonomi saja. Angkringan, meskipun murah secara ekonomi, tapi lebih sarat nilai subjektifnya. Nilai kenangannya. Nilai ceritanya. Nilai kerakyatannya. Ah, pokoknya aku subjektif saja. Semacam jatuh cinta.

Karena masih hari Minggu dan malam, daerah tempat angkringan sangat ramai oleh beraneka manusia. Manusia Jogja lokal dan yang tidak orisinil sepertiku. Membuat kepalaku terus berputar.

Mungkinkah Teh Nala ada di sekitar?
-
(11 November 2018)

Di sini
Umbulharjo
Di sini
Merapi
Di sini
Jombor
Di kratonkah?
Kedai kopikah?
Pantaikah?
Esok dan seterusnya

Di mana Nala berada?

-
Sekitar pukul setengah sembilan, masih di November.

Kutemukan :
Nala. Nabilah. 

Tapi belum secara fisik.

Alhamdulillah. Semoga segala doa-doa baik senantiasa meliputinya. Aamiin.
-
12 November 2018.

Hari Senin 12 November aku ikut Mas Harfi ke mana-mana. Mulai dari pagi nganter Kak Tisha sekolah. Nganter Mas Harfi dan istri ke BJ Home lihat-lihat keramik dan pintu WC. Berkeliling-keliling mencari penyewaan scaffolding untuk di proyek. Lalu menghabiskan waktu dari siang hingga sore di proyek rumah Mas Harfi. Malamnya kubantu Mas Harfi dengan membuatkan desain tampak depan 3D untuk proyeknya.

Gambar selesai pada sekitaran pukul 00.30. Mas Harfi tampak puas. Aku tampak ganteng. Lalu kami meluncur ke jalanan Kota Jogja. Tentu saja.

“Kuliner malam, Mas Bray!”

Gudeg Bromo. Itu tujuanku dan Mas Harfi. Loh, ada Gudeg Bromo. Bedanya sama gudeg biasa apa?

“Gudeg Bromo mah pedes, Bray!”

Jadi selain nangka dan krecek, kita bebas pilih lauknya. Kupilih gorengan tempekering dua. Telor ala gudeg. Juga ayam suwir. Waduh, enak sekali. Sebelum mati, kalau sempat, cobalah olehmu Gudeg Bromo di Jogja.
-
13 November 2018. Hari Selasa.

“Besok kita ngetrail, Bray. Ke Merapi,” itu kata Mas Harfi kemarin, tanggal 12 November. Betapa bahagianya aku saat mendengarnya. Begitu bersemangat. Sampai-sampai setelah makan Gudeg Jogja aku langsung ingin tidur agar esok hari tubuh segar.

Sialnya aku baru bangun jam 11.00. Kemarin lelah. Bangun kesiangan. Mas Harfi rupanya juga. Mas Harfi akhirnya datang di sekitar 11.30 menjemputku. Aku langsung mandi dan bersiap. Setelah semua siap, maka tentu berangkat kami menuju arah Gunung Merapi. Kembali ke Umbulharjo.

Rute ngetrail dimulai dari sebuah sungai di kaki Gunung Merapi. Sebagai pembuka, aku disuruh untuk mencoba motor lebih dulu. Monstrac 200 cc. aku harus coba gigi satu sampai tiga di jalanan kerikil dan berair di sisi sungai. Gigi tiga artinya ngebut. Oke. No Problem. Dan kurasa aku cukup baik di pembukaan.

Seperti yang sudah kubayangkan selama ini. Ngetrail sangat menyenangkan. Nyatanya, ngetrail juga cukup sulit dan sangat menguras tenaga. Beberapa kali aku tersangkut di batuan sungai dan lumpur-lumpur. Mas Harfi sebagai seorang pro yang membantuku jika aku gagal melepaskan motor dari perkara tersangkut. Perjalanan tetap menyenangkan meski sulit. Kami melewati sungai. Sawah-sawah. Jalanan hutan-hutan. Warga-warga yang sangat ramah saat disapa. Lalu kembali melewati Warung Kopi Merapi. Terus ke atas sampai tiba di tempat bernama Bungker. Yaitu titik tertinggi yang mampu dicapai oleh kendaraan. Untuk menuju puncak Merapi tentu masih sangat jauh. Tapi ini cukup.

Menjelang pukul 15.00 kabut tebal mulai meliputi seluruh area Bungker. Gerimis mulai ikut hadir perlahan. Hujan segera tiba tak lama lagi. Membuat kami segera turun dan menuju Warung Kopi Merapi untuk ngopi hangat. Kurang beruntung, belum pun mendekati Kopi Merapi, hujan menjadi terlalu deras untuk ditembus. Kami terpaksa berteduh di sebuah warung kecil. Yang dimiliki oleh sepasang bapak-ibu tua yang sangat ramah. Menyalami kami secara langsung sambil mempersilakan untuk macam-macam. Kami berteduh.

Hampir pukul 16.00 namun hujan tak kunjung reda. Monstrac 200 cc-ku tak dilengkapi lampu untuk perjalanan malam hari. Maka terpaksa kami harus pulang menembus hujan. Basah. Syahdu. Dan bersahaja.
-
Malamnya ternyata Mas Harfi kelelahan di rumahnya dan tak sanggup menemaniku. Membuatnya jadi mempersilakan aku pinjam motor vario untuk pergi sesukaku. Maka aku pergi ke Jalan Kranggan.

Ada apa di Kranggan?

Sebuah kedai kopi bernama Blanco. Sudah sejak di Bandung aku ingin ke Blanco. Sebuah kedai kopi serupa Kineruku di Bandung. Kedai kopi dengan beragam buku bebas baca, meski tak sebesar Kineruku. Blanco Coffee & Book. Tempatnya bagus. Dan segera hadir secangkir Hemingway. Signature coffee-nya Blanco. Terbuat dari triple-shots of fratpresso. Dan enak.

Aku duduk di teras bagian luar agar bisa merokok. Alih-alih membaca buku yang ada di Blanco, aku memilih untuk menulis. Melanjutkan jurnal perjalanankudi Jogja hingga saat ini. Alhamdulillah.

Besok. Rabu, 14 November 2018. Dan aku ada rencana pergi sendiri menuju Candi Cetho. Sebuah candi peninggalan Majapahit. Di daerah Karanganyar dan lebih dekat ke Solo. Lalu terus ke daerah Magelang. Lalu mungkin silaturahim ke Bi Nining, saudaraku yang di Jogja. Membuat hari esok jadi panjang dan melelahkan. Membuat aku harus cukup istirahat untuk semuanya itu. Membuat aku harus meninggalkan Blanco Coffee & Book. Membuat aku selesai sementara menulis jurnal dengan sebuah tanda strip berikut ini :
-
Rabu, 14 November 2018.

Aku bangun jam 05.00. Shalat shubuh. Tidur-tiduran. Mandi jam 06.00. Menyiapkan barang bawaan. Nongkrong di saung penginapan. Lalu isi waktu dengan ngobrol-ngobrol ngopi bersama Faza dan Mas Anang. Mas Anang orangnya baik dan mudah akrab. Sejak kemarin-kemarin, Mas Anang banyak ngobrol denganku di penginapan. Mas Anang juga yang kasih tau aku cara mendapatkan tiket kereta tanpa harus booking online atau antre di loket stasiun. Mas Anang juga yang selalu buatkan aku kopi di penginapan. Mungkin nanti enamel pin yang melekat di ranselku akan kuberikan untuk Mas Anang.

Setelah konsultasi soal rute terbaik pada Mas Anang, jam 8 kurang aku memulai perjalanan menuju Candi Cetho di Karanganyar.

Perjalanan jauh. Berdebu. Melewati macam-macam. Jalan antarkota Jogja-Solo. Klaten. Sawah-sawah yang terhampar. Bendungan yang airnya dangkal. Karanganyar. Rupanya, menuju Candi Cetho dari Karanganyar masih jauh lagi. Rupanya searah dengan Tawangmangu dan sudah masuk wilayah Solo, bahkan sedikit lebih jauh lagi. Tahun 2014 silam aku juga ke Solo, ke Tawangmangu. Cetho, dari Tawangmangu masih haris ke atas lagi lebih jauh. Ke kaki Gunung Lawu.

Sekitar pukul 11.00 hujan turun. Terlalu deras untuk diterjang. Maka aku berteduh di warung kopi pinggir jalan yang suasana dan pemandangannya seperti di Puncak. Hanya saja jauh lebih indah. Pesan kopi. Sarapan mie rebus pedas. Sambil menulis ini. Cetho masih 3 km lagi.
-
Candi Cetho, kawan, terletak di kaki Gunung Lawu. Juga sangat dekat dan searah dengan jalur pendakian Gunung Lawu. Aku disarankan untuk pergi mengunjungi Candi Cetho oleh Rere dan A Mar waktu di Bandung. Menurut sumber, Candi Cetho merupakan candi terakhir peninggalan zaman kerajaan Majapahit dan merupakan situs peribadatan ummat Hindhu. Menurut Rere dan A Mar, Candi Cetho yang terletak di ketinggian ini memiliki semacam suasana yang sendu. Aku disarankan untuk mengunjungi Candi Cetho di sekitar siang menuju sore hari, kalau bisa terutama senja, karena view Candi Cetho sangat strategis untuk menikmati matahari terbenam.

Karena satu dan lain hal, aku berhasil tiba di Candi Cetho siang hari pada sekitar pukul 13.00. Hujan lebat. Menundaku untuk bisa segera memasuki kawasan candid an berteduh bersama petugas parkir sambil ngobrol. Setelah hujan mulai reda dan menyisakan gerimis kuputuskan untuk mulai memasuki area candi.

Candi Cetho memang belum seramai Candi Borobudur. Tapi pengunjung hari itu cukup ramai. Banyak orang pacaran. Lalu berfoto-foto di tangga-tangga candi. Membuatku jadi agak terhalang untuk mencapai bagian teratas candi dengan segera. Cukup menyebalkan kurasa. Karena suasana sendu yang ditawarkan oleh Candi Cetho menjadi buyar karena suara-suara pengunjung yang lain. Cekikikan. Ngobrol segala rupa. Rebut berswafoto. Dan lain-lain. Membuatku kehilangan naluriku untuk meresapi atmosfir Candi Cetho. Membuatku kehilangan kata-kata yang tajam untuk menggambarkan perasaan di Candi Cetho.

Aku mencoba menenangkan pikiran. Mencoba meresapi atmosfir yang ada. Mengabaikan pengunjung-pengunjung lain yang senang. Aku duduk di tingkat keempat candi yang diisi oleh dua buah semacam pendopo cukup besar dengan tiang-tiang kayu beratap rumbia. Aku menyalakan batangan-batangan rokok untuk dihisap. Mengeluarkan buku catatan dan mulai membuat sketsa Candi Cetho. Hal itu sedikit membantuku membangun mood dan naluri menulisku. Membuatku mulai asyik sendiri duduk bersama buku catatan di pendopo tingkat empat Candi Cetho.

Rupanya, hari mulai lewat pukul 15.00. aku tak bisa berlama-lama di Cetho. Karena rencanaku, setelah ini aku harus segera bertolak ke Magelang. Dan itu sangat jauh. Aku takut waktuku tidak akan cukup untuk seluruh agenda yang telah kususun jika terlalu lama di Cetho. Maka aku segera turun, berpamitan pada petugas parkir, dan lekas berkendara menuruni jalan yang berliku.
-
(14 November 2018, Candi Cetho)

Bumi dan langit
Gunung dan lembah
Hujan dan angin
Tanah dan batu
Dupa dan lilin
Puja dan doa

Jangan bersedih
Saat menunggu dan menepi

Jangan bersendu
Aku ‘kan menemukanmu

-
Masih karanganyar, namun kemudian hujan turun teramat deras bersama angin yang berhembus amat kuat. Aku segera mencari tempat berteduh. Kutemui sebuah warung kelontong dengan tempat duduk. Pesan kopi, berteduh, tapi tetap cukup basah karena hujan terbawa angin yang mulai badai. Oh, Tuhan. Hujan turun deras sekali. Sempatkah aku tiba di Magelang sebelum maghrib?

Tidak.

Meski hujan tak sampai berjam-jam turun, tapi ke Magelang, setelah kutimbang dengan matang, tidak memungkinkan. Aku salah belok entah di sebelah mana, menyebabkan aku jadi masuk ke jalanan dalam Kota Solo yang ternyata macet. Seperti Jakarta di rush hour-nya. Aku mulai lelah dan lesu bertemu situasi yang begitu. Setelah lolos dari kemacetan kota Solo, aku terdorong ke jalan raya Solo-Jogja di Klaten. Semacam jalan by-pass yang sangat panjang dan tak berujung di mana semua orang berkendara sangat cepat. Bahkan kudapati berkali-kali beberapa mbak-mbak memacu motornya hingga 80 km/jam. Gila. Aku mulai bosan. Lelah. Dan ingin punya pintu ke mana saja. Lalu kuperiksa GPS di HPku. Ternyata untuk mencapai Magelang dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam setengah lagi. Begitu pula untuk sampai ke Jogja. Sementara hari menjelang senja. Ah, aku tak lagi sanggup untuk tiga jam berkendara ke Magelang lalu ke Jogja. Maka kuputuskan untuk langsung menuju pusat kota Jogja. Melupakan Magelang.

Beberapa kali hujan dan gerimis turun bergantian sebentar-sebentar. Aku tak lagi berhenti. Aku terus memacu motor pinjaman sampai tiba di Jogja. Dan itu sudah lepas magrib. Tujuanku adalah alun-alun Jogja, Kraton Ngayogyakarta, yang sedang menyelenggarakan acara Sekaten tahunan. Sekaten kujumpai dalam bentuk sebuah pasar malam yang amat meriah dan sangat ramai oleh masyarakat. Banyak orang berjualan. Makanan. Minuman. Pakaian dan asesoris macam-macam. Juga berbagai wahana dan atraksi. Bom-bom-car. Tong setan. Komidi putar. Kora-kora. Dan wahana-wahana khas pasar malam yang lainnya.

Ah, Teh Nala tetap tak ada di antara keramaian Sekaten yang memeriahkan alun-alun Jogja. Aku hanya melihat-lihat suasana Sekaten. Tanpa membeli apapun. Tanpa berkawan satu pun. Aku jadi sepi sendiri. Aku tidak tahan kesepian di tengah-tengah keramaian yang hingar dan bingar. Maka ke sisi aku menepi. Bagian utara alun-alun kota Jogja. Kudapati sebuah kedai kopi bernuansa khas bangunan kota Jogja, beratap Joglo, berdinding kayu warna krem. Di mukanya tertulis “Kopi Walik.” Tak ramai orang. Menarik perhatianku untuk mampir dan menghabiskan waktu. Tentu saja kopi dan makan malam.

Setelah memilih tempat duduk di sisi jendela yang terbuka ke arah Sekaten, kupesan kopi yang paling relevan dengan nama kedai kopi ini. Aku pesan Kopi Walik. Kepada seorang waiter aku bertanya, apa itu kopi walik.

Bla…bla…bla…bla… Kopinya kebalik, Mas,” oohh, walik itu ternyata balik atau kebalik. Aku langsung ngeuh dan yakin pilihanku tidak salah. Maka kupesan segelas kopi walik dan seporsi nasi goreng khas kopi walik.

Tak perlu lama. Seorang mbak-mbak kemudian menghampiri meja tempat aku berada dengan membawa kopi walik pesananku. Aku terperanjat tak menyangka. Ternyata kopi walik disajikan dengan cara yang tak lazim dan baru pertama kali kulihat. Tak kusangka ‘kopinya kebalik’ yang dijelaskan oleh mas-mas waiter ternyata disajikan dengan cara ini. Gelas beling yang berisi kopi hitam diposisikan terbalik, tertelungkup di atas sebuah piring kecil. Membuat kopi hitam yang ada di dalam gelas terperangkap di dalam gelas dan tidak tumpah ke mana-mana. Setelah menyajikan kopi walik ke mejaku, si mbak langsung pergi meninggalkan aku yang kebingungan. Asem!

“Mbakk!!” aku memekik. Si mbak berbalik dan menghampiriku.

“Ini gimana cara minumnya, Mbak??”dalam hati aku menertawakan ketidakpahamanku. Dalam hati mungkin si mbak melakukan hal yang sama sembari berucap “katro kamu, Mas.”

Setelah si mbak menjelaskan caranya. Lantas aku coba. Jadi, untuk meminum kopi walik, hal pertama yang harus dilakukan adalah memutar gelas yang tertempel di atas piring kecil secara perlahan. Membuat bibir gelas bergesekan dengan permukaan piring.hal itu akan membuat gelas dapat terangkat sedikitdan membiarkan air kopi yang ada di dalam gelas perlahan tumpah ke piring kecil. Dari piring itulah kopi dapat diminum, disruput, perlahan dengan posisi gelas tetap menempel di permukaan piring agar tidak seluruhnya kopi tumpah sekaligus ke piring dan ke mana-mana. Hingga tiga sampai empat kali putaran dan bukaan, ampas kopi akan lebih banyak keluar lebih dulu. Sehingga harus sedikit demi sedikit ampas dibiarkan keluar. Putaran dan bukaan selanjutnya, kopi walik sudah dapat dinikmati dengan cara yang unik dan menyenangkan.

Selama aku berdiam diri di kedai Kopi Walik, gerimis turun cukup lebat. Orang-orang masih tetap menikmati Sekaten dalam romantisme gerimis yang mengundang. Mengundang perasaan. Perasaan untuk tetap ingin diam dan berteduh saja di Kopi Walik untukku. Membuat aku jadi sungkan untuk bertamu ke rumah Bi Nining saudaraku karena hari menjadi terlalu malam untuk bertamu. Karena gerimis baru reda di sekitar jam sembilan malam lewat.

Setelah gerimis betul-betul berhenti, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Kopi Walik. Ke mana aku pergi? Ke Malioboro.
-
Malam terakhir. 14 November 2018.

Malam terakhir di Jogja kuhabiskan di Malioboro. Gerimis. Kehabisan kata-kata. Perasaan tak keruan yang tumpah semalam, bercucuran dalam langkah-langkah kecil sepanjang jalan. Tanpa foto dan catatan.

Abder. Seorang mahasiswawa ISI Jogja, Seni Lukis tingkat satu. Kutemui dalam lima ratus sketsa satu semester. Satu dibuat di sampingku. Ditambah aneka percakapan tentang filsafat, seni, pendidikan, dan arsitektur yang terbuka. Juga tentang Bandung, Padang, dan Jogja.

Jogja adalah kota yang entah bagaimana, hampir semua penduduknya amat terbuka. Interaksi langsung dan terbuka sangat mungkin dilakukan di manapun. Terutama di ruang-ruang kehidupan yang dekat dengan urat nadi kerakyatan. Mebuatku senang untuk berlama-lama ngobrol dengan petugas parkir yang belum tahu Gegerkalong itu ada di bumi dan belum ditelan lautan. Membuatku senang memberi jalan untuk mobil yang mau belok, yang juga senang memberiku jalan karena mau lurus. Aku harus meliputi seluruh Jogja dengan terimakasih yang deras.

Besok, segalanya adalah kembali tentang Bandung. Itu semua karena Pidi Baiq berkata :

Dan Bandung. Bagiku bukan Cuma. Urusan wilayah belaka. Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan. Yang bersamaku ketika sunyi.

Tapi juga jika kuganti sedikit :

Dan Jogja. Bagiku bukan Cuma. Urusan wilayah belaka. Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan. Yang bersamaku ketika itu.

Alhamdulillah.
-
15 November 2018.

Menjelang ashar aku bersiap meninggalkan Jogja. Ndalem Winie Asri, penginapan Mas Harfi, saat itu tidak ada Mas Anang. Aku cukup sedih karena belum sempat pamit ke beliau. Maka kutanggalkan enamel pin motif kuskus yang terpasang di ranselku. Kutitipkan pada Mbak resepsionis penginapan, khusus, untuk Mas Anang.
-
Mas Pungki.

Cerita tentang Mas Pungki adalah salah satu pengalaman paling seru di hidupku. Mas Pungki sendiri adalah seorang kondektur (kenek) bus Bandung Express jurusan Jogja-Semarang-Bandung. Bus yang membawaku kembali ke pelukan Bandung.

Nah. Waktu itu malam sudah setengah dua belas. Bus memasuki sebuah tempat perhentian dekat daerah Tegal. Penumpang lain banyaknya sedang tidur. Aku baru saja terbangun. Melihat bus berhenti di tempat perhentian, aku menyempatkan diri untuk turun dan merokok sejenak. Mas kondektur terlihat sibuk mengkoordinasikan sesuatu dengan petugas P.O. Bandung Express. Rupanya belum habis sebatang rokok, bus sudah akan kembali melaju. Segera kumatikan rokokku. Melihatku demikian, mas kondektur berseru, “Mas, kalau mau merokok di depan aja, kosong, kok,” sambil menunjuk posisi kursi lipat tempat kondektur bus biasa bercokol.

Loh. Aku tanya, “Lha, emang Masnya?”

Mas kondektur kasih isyarat dia yang akan gantikan supir.

Loh. Aku tanya, “Lha, pak supirnya?”

Mas kondektur kasih isyarat pak supir mau tidur.

Mantap sekali!

Aku bosan memang duduk di belakang. Kalau naik bus, sejak kecil, aku selalu suka duduk di bagian depan. Melihat jalanan dari kaca mobil yang amat besar. Lalu ditawari duduk di paling, paling depan? Tentu saja aku bersedia dan sangat bersemngat. Tenang, Mas. Aku pasti akan jadi kondektur magang dan teman ngobrol yang baik. Janji!

Maka ketika bus kembali maju aku bergegas mengenakan jaket dan mengamankan ranselku di belakang. Lalu menduduki posisi kondektur dengan penuh kebanggaan. Oh, kawan, kau mesti paham bahwa ini sangat seru bagiku! Seru sekali!

Segera aku merokok di jendela bak seorang kondektur sungguhan. Segera juga kubuka percakapan dengan mas kondektur yang sementara naik jabatan menjadi supir bus Bandung Express. Tercatat aku resmi menjadi kondektur magang bus Bandung Express pada 14 November 2018 saat bus mulai memasuki Kota Tegal.

“Nama saya Pungki, nama panggilan sih. Kalau aslinya Haryono.”

“Kalau saya Arif, Mas. Nama panggilannya Tonji.”

“Kok Tonji? Tonji itu apa, toh?”

“Dulu saya tonggos, Mas. Dipelesetin jadi Tonji, hehe,” Mas Pungki ketawa.

Aku ngobrol buanyaaaakkk sekali dengan Mas Pungki. Menemani Mas Pungki kerja di antara orang-orang yang tidur. Mas Pungki, kalau dia jujur, sekarang usia tiga-empat. Sudah menikah dan berhasil membuat dua orang anak bersama dengan istrinya tercinta. Mas Pungki asli orang Sleman, Jogja. Istrinya asli orang Cimahi dan tinggal di Cimindi bersama anak-anak. Mereka resmi menjadi suami-istri saat Mas Pungki berumur dua-enam.

Ih. Sungguh aku sangat senang ngobrol dengan Mas Pungki. Ngobrol segala macam yang mungkin. Sampai-sampai aku curhat tentang Teh Nala ke Mas Pungki. Dia sampai tertawa enak saat tahu aku kehilangan kesempatan untuk minta nomor kontak Teh Nala. Membuat Mas Pungki jadi makin terbuka ngobrol denganku. Membuat Mas Pungki jadi berbagi cerita tentang pertemuan pertamanya dengan sang istri.

Ternyata oh ternyata. Oh ternyata oh ternyata. Pertemuan keduanya terjadi saat Mas Pungki sudah jadi kondektur dulu. Sementara sang istri sedang jadi penumpang bus yang ada Mas Pungkinya!

“Mantep, e, si Mas! Haha!” aku berseru. Mas Pungki senyum-senyum.

Mas Pungki memang tidak bercerita detail tentang jurus apa yang digunakan untuk mendapatkan istrinya di pertemuan pertama mereka. Tapi aku paham penjelasannya tentang kesempatan yang mungkin Cuma satu-satunya itu. Selebihnya, kamudian Mas Pungki berbagi denganku tentang kehidupan rumah tangga. Tentang menjadi seorang suami. Tentang mencari nafkah. Tentang menjadi seorang ayah. Mas Pungki, malam itu, selain menjadi atasanku, juga menjadi guru kehidupan yang baik. Aku mendengarkan dengan serius. Aku menjadi bawahan yang baik semampuku. Aku menurunkan beberapa penumpang dengan baik semampuku. Aku menurunkan beberapa barang dari bagasi dengan baik semampuku. Aku mengawasi jalanan untuk Mas Pungki menyusul truk-truk malam dengan baik semampuku. Sampai Kadipaten. Sampai aku benar-benar mengantuk dan pamit kembali tidur ke belakang.
-
Bandung kuinjak. Mantap. Pukul 07.00, 16 November 2018 di depan pintu keluar bus Terminal Leuwipanjang. Kuulurkan tanganku pada Mas Pungki. Terimakasih teramat banyak. Saling mendoakan. Perpisahan. Singkat. Padat dalam tangan yang berjabat erat. Mas Haryono, Mas Pungki, dadah.
-
Di luar jaket, Bandung rasanya dingin. Pisang molen kubeli sebanyak empat buah dan bayar tunai tanpa kasbon sebesar empat ribu rupiah. Di pinggiran jalan banyak orang menanti bus-bus keluar dari Terminal Leuwipanjang, sama sepertiku, yang berdiri menunggu Damri ke arah Ledeng.

Setelah duduk di dalam bus Damri, rupanya sampai di Ledeng tak terasa lama. Berjalan aku menyusuri kampus UPI, kampusku, berjalan ke bawah menuju Warung Pak Ajat tempat aku biasa nongkrong semasa kuliah dulu. Silaturahim dengan Bapak dan Ibu Ajat sambil pesan segelas kopi hitam. Lalu dijemput Ibu dan pulang menuju rumah tempat aku tinggal, mandi dan sikat gigi. 

Alhamdulillah.
-
16 November 2018. Siang-sore di Kineruku.

Kawanku yang baik. Perjalanan kehidupan mungkin masih panjang, atau mungkin sebentar lagi selesai. Namun perjalanan sendirianku ke Jogja tahun ini di November sudah selesai. Jurnal perjalanan ini oleh karena hal tersebut juga mesti kubuat selesai. Maka berikut ini, adalah bagian penutupan :

Penutupan.

Kepada Bapak Kahuripan seat 20-B gerbong 5, beserta segenap keluarga yang ada. Semoga keluarga Bapak di Solo diberikan kesembuhan oleh Allah SWT. Semoga Bapak juga senantiasa dianugerahi kesehatan dan perlingunganNya. Aamiin.

Kepada Mbak Kahuripan seat 19-A gerbong 5. Semoga sehat selalu dan diberi rezeki yang baik bersama suami dan keluarga.

Kepada Mas Faisal. Sal, terimakasih banyak obrolan, rokok,kopi dan powerbank-nya. Terimakasih sudah mau berkawan meski tidak lama. Barangkali nanti bertemu lagi, semoga kau tidak lupa padaku. Semoga sukses.

Kepada Teh Nala. Nabilah. Terimakasih banyak telah berkenan untuk berkenalan singkat. Sedikit obrolan. Terimakasih karena tersenyum. Aku berharap semoga short escape-mu kemarin berjalan lancar. Mengenai siapa engkau sebenarnya, atau siapa aku sebenarnya, tergantung pilihan kita sendiri. Tapi tetap Allah yang menentukan. Sementara itu, tetaplah dalam lindungan dan ridha Allah dalam segala hal. Jika Allah menghendaki kita bertemu lain waktu, aku akan banyak bercerita.

Kepada Mas Harfi, istri, Kak Tisha dan Dek Inara. Terimakasih yang sangat banyak karena telah sudi menampungku selama di Jogja. Maafkan aku yang jadi sangat merepotkan. Aku berdoa agar Mas Harfi dan keluarga senantiasa sehat selalu. Dilancarkan rezeki. Kak Tisha dan Dek Inara tumbuh sehat, pintar dan jadi anak yang sholehah. Aamiin.

Kepada Faza, Fajri dan Hanif. Adik-adik sepupu Mas Harfi. Senantiasa diberikan kelancaran di perkuliahan. Baik-baik dan loyal pada Mas Harfi. Terimakasih sudah mau menemaniku di Ndalem Winie Asri. Pinjakmkan pulpen. Pinjamkan motor. Temani ngetrail ke Merapi. Matur nuwun.

Kepada Mas dan Mbak pegawai Ndalem Winie Asri. Khususnya Mas Anang. Matur nuwun. Saktenan-tenane matur nuwun. Makasih Mas Anang yang hampir tiap hari buatkan aku kopi atau teh. Makasih sudah kasih tahu aku cara mendapatkan tiket kereta tanpa antre.enamel pin kuskus untuk Mas Anang, mudah-mudahan Mas Anang suka. Dijaga dan jangan sampai hilang. Semoga suami, anak, istri sehat selalu. Aamiin.

Kepada Mas-mas petugas parkir di Candi Cetho yang someah dan periang. Terimakasih sudah mau menemaniku ngobrol-ngobrol sambil menunggu hujan reda. Sehat-sehat ya, Mase. Semoga suatu saat nanti Mas ada rezeki dan kesempatan jalan-jalan ke Bandung. Aamiin.

Kepada Mas Abder. Uda Abder. Abder. Selamat menempuh pendidikan seni lukis. Semoga luas dalam pengetahuan, luas dalam pergaulan, luas dalam pemikiran. Dengan seni sebagai salah satu alat untuk menemukan kebenaran, semoga kau temukan perspektif senimu sendiri. Semoga kelak menjadi seorang seniman yang kuat dalam berkarya. Aamiin.

Mas Haryono. Alias Mas Pungki. Sungguh aku berterimakasih sebanyak mungkin. Telah mengizinkan aku duduk di posisi kondektur. Matur nuwun sudah ngobrol, berbagi, dan mengajariku banyak hal dalam waktu singkat. Terimakasih atas doa yang Mas Pungki panjatkan untukku. Atas itu semua, aku juga berdoa untuk Mas Pungki. Semoga Mas Pungki sehat selalu. Anak istri juga. Dilindungi oleh Gusti Allah. Semoga Mas Pungki senantiasa dikuatkan oleh Allah untuk menempuh hidup di bumi juga selamat sampai di akhirat. Aamiin. Jika suatu saat aku harus ke Jogja atau ke Bandung dengan Bandung Express, aku berdoa semoga kita berjumpa lagi. Aku ingin Mas Pungki tahu bahwa aku sangat senang bisa bertemu dan ngobrol banyak dengan Mas Pungki. Mas Pungki, keren abisss.

Lalu kepada seluruh rakyat dan tanah Jogja. Karanganyar. Solo. Klaten. Baki. Magelang. Tegal. Kadipaten. Matur nuwun. Semoga paying perlindungan menaungi seluruhnya. Diliputi kebaikan. Jaya di darat, laut, juga udara.

Terimakasih dan doa-doa, insyaallah semua kebagian. Deras dan tak terbendung. Aamiin.
-
16 November 2018

Aku sengaja
Datang ke bumi
Untuk banyak hal

Aku sengaja
Datang ke bumi
Untuk tegak dan melihat matahari
Untuk diam dan melihat bulan dan bintang
Berlari-lari di pegunungan Kirgistan
Menyaksikan uap kopi di Mongolia
Tidur dan berbaring di dasar Sungai Thames

Ikan-ikan biarkan berenang di lautan
Burung-burung biarkan mereka bebas tak terkurung
Bebas melintasi manusia yang sibuk mencari kayu bakar

Aku sengaja
Datang ke bumi
Untuk banyak hal
Untuk melepaskan kunang-kunang ke udara
Untuk mengeluarkan jutaan gantungan kunci aneka rupa
Yang kusimpan dalam ransel
Bergelantungan di langit semesta bersama harapan
Di seluruh penjuru dunia

Aku sengaja
Datang ke bumi
Untuk ditemukan
Oleh kasih dan saying
Oleh suka dan cita
Oleh rindu dan cinta
Yang sejak dulu meliputi manusia
Manusia yang banyak memberi dan menerima
Es lilin, gulali, arum manis, biskuit, kue dan mainan
Salam, tepuk, peluk, belai, cium, canda, tawa dan perasaan
Membuat aku hampir mati karena terpana
Sampai-sampai ingin mengembalikan segalanya
Aku kehabisa bibir untuk tersenyum lebih lebar
Aku kehabisan tangan untuk bertepuk lebih banyak
Aku kehabisan air mata untuk terharu lebih jauh
Aku kehabisan diriku sendiri

Aku sengaja
Datang ke bumi
Untuk menemuimu
Agar kita mampu menerima semuanya
Agar kita mampu memberikan semuanya
Agar kita meliputi seluruh dunia
Agar semesta jadi penuh oleh aneka cerita

Aku sengaja
Datang ke bumi
Untuk menemukanmu

Sudikah engkau ikut denganku?
-


Selesai.
Jogja dan Bandung,
10-16 November 2018,






Muhammad Arif Adiansyah.