Pada suatu malam yang begitu dalam, ada begitu banyak pemikiran dan perasaan yang bercampur mendatangi kita. Satu dan lainnya bermunculan tak beraturan, saling meletup untuk bisa mendapatkan perhatian kita. Begitulah yang terjadi padaku malam ini, didatangi begitu banyak hal di kepala, sehingga kuputuskan harus menulis sesuatu agar aku tetap waras.
Tapi tak juga kutemui sebenarnya apa yang akan kutulis, hingga akhirnya pilihan datang ketika malam semakin gelap dan setitik cahaya bisa begitu sangat berharga. Entah mengapa yang kubahas kemudian adalah ini, tapi rasanya sejak pertama kali mendengarnya aku selalu merasakan sebuah perasaan yang dalam, pada sebuah cerita kecil yang haru biru. Sedikitnya, rasanya hatiku beririsan dengan kisah ini.
Wieteke van Dort. Darinya lah pertama kali kudengar kisah ini, walaupun yang pertama kali menyanyikannya adalah Mas Willy Derby, tapi dari van Dort lah aku mendengarnya hingga jatuh cinta. Kau cari saja sendiri siapa mereka itu, okey.
Entah siapa pengarangnya, diciptakan pada tahun 1929. Betapa pilu, mengetahui bagaimana jarak, ruang, dan ternyata juga waktu dapat memunculkan kepiluan, kerinduan yang tampak begitu besar bahkan tanpa sebuah pertemuan yang pernah terjadi. Ah, mau tulis apalagi, kau harus cari tahu sendiri tentang cerita di balik cerita ini. Kuberikan kisah ini padamu dari liriknya. Judulnya,
Hallo Bandoeng
(Dutch)
‘t Oude moedertje zat bevend
Op het telegraafkantoor
Vriend’lijk sprak de ambt’naar
Juffrouw, aanstonds geeft Bandoeng gehoor
Trillend op haar stramme benen
Greep zij naar de microfoon
En toen hoorde zij, o wonder
Zacht de stem van hare zoon
refrain :
“Hallo! Bandoeng!”
“Ja moeder hier ben ik!”
“Dag liefste jongen”, zegt zij met een snik
“Hallo, hallo!
Hoe gaat het oude vrouw?”
Dan zegt ze alleen:
“Ik verlang zo erg naar jou!”
Lieve jongen, zegt ze teder
Ik heb maandenlang gespaard
‘t Was me om jou te kunnen spreken
M’n allerlaatste gulden waard
En ontroerd zegt hij dan:
“Moeder Nog vier jaar, dan is het om
Oudjelief, wat zal ‘k je pakken
Als ik weer in Holland kom!”
refrain :
“Jongenlief”, vraagt ze, “hoe gaat het Met je kleine bruine vrouw?”
“Best hoor”, zegt hij, “en we spreken
Elke dag hier over jou
En m’n kleuters zeggen ‘s avonds
Voor het slapen gaan een gebed
Voor hun onbekende opoe
Met een kus op jouw portret”
refrain :
“Wacht eens, moeder”, zegt hij lachend ”
‘k Bracht mijn jongste zoontje mee”
Even later hoort ze duidelijk
“Opoe lief, tabeh, tabeh!”
Maar dan wordt het haar te machtig
Zachtjes fluistert ze:
“O Heer Dank dat ‘k dat heb mogen horen…”
En dan valt ze wenend neer
“Hallo! Bandoeng!”
“Ja moeder hier ben ik!”
Ze antwoordt niet.
Hij hoort alleen ‘n snik
“Hallo! Hallo!…” klinkt over verre zee
Zij is niet meer en het kindje roept: “Tabeh”
Hallo Bandoeng
(Indonesia)
Perempuan tua itu duduk gemetar di kantor telegraf
Dengan ramah petugas operator berkata:
”Ibu, sudah tersambung dengan Bandung”
Dengan kaki yang kaku dan gontai, dia berdiri meraih mikrofon
Dan saat itu pun, oh sungguh mengagumkan,
Dia mendengar suara lembut anak lelakinya
Refrain :
Halo! Bandung!
Ya bunda, aku di sini!
Salam anakku sayang, katanya dengan menahan tangis
Halo, halo!
Apa kabarnya, bunda?
Dengan suara lirih dia menjawab:
Aku sangat merindukanmu, nak!
Sayang, dia bertanya, apa kabarnya dengan isterimu yang berkulit sawo matang?
Baik-baik saja, bu, katanya, dan kami membicarakan ibu setiap hari di sini
Dan anak-anak mengucapkan doa malam sebelum tidur
Untuk opung (nenek) yang belum mereka jumpai
Dengan mencium potretmu
”Tunggu sebentar, bunda”, katanya sambil tergelak
“Aku akan memanggil anakku yang paling bungsu”
Tak lama kemudian terdengarlah dengan jelas:
”Opung (nenek) tersayang, tabeh, tabeh!”
Tak tertahankan hatinya mendengarnya, ia pun berbisik lembut kepada Tuhan
Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengizinkan aku mendengarkan
Dan kemudian ia jatuh bersimpuh sambil menangis
Halo! Bandung!
Ya bunda, aku di sini!
Dia tidak menjawab
Hanya terdengar isak tangis
Hallo! Hallo! Terdengar suara klik di seberang lautan
Dia sudah tiada saat putranya berseru: Tabeh!