Pernahkah kamu dikejar-kejar anjing? Pernahkah kamu dikejar-kejar harimau lapar? Pernahkah kamu sekalian dikejar-kejar beruang kutub? Memangnya mungkin? Pernahkah kamu makan di warteg belum bayar? Sebenarnya juga tidak ada penting-pentingnya kutulis demikian pun. Tapi sebenarnya ada filosofi sederhana dari pertanyaan pertama itu. Seperti ada udang di balik batu. Sedang apa si udang? Sedang pacaran. Meureuuun.
Masa lalu itu ya seperti anjing. Eh, bukan maksudnya menghina mantanmu, euy. Maksudnya, ibarat tiba-tiba saja kamu sedang berada di tengah padang pasir dan tak ada sesiapa. Tiba-tiba saja ada anjing herder besar begitu mengejar-ngejarmu sebab kamu menginjak ekornya. Mungkinkah kamu lolos? Mungkin saja, tapi kamunya mati. Begitulah masa lalu. Kita tidak akan bisa luput, kecuali kita mati. Atau lupa. Atau amnesia. Tapi pada dasarnya mah lupa itu kan bukan berarti hilang, cuma tidak tahu di mana. Begitulah kurang lebih.
Dua paragraf di atas memang agak ngacapruk. Tau ngacapruk? Artinya adalah mencuci muka. Memang jadi tidak nyambung, kan saya ngibul. Hahaha. Maksud hati membuat tulisan yang melibatkan anjing tetangga ini adalah saya ingin bernostalgia mengenang masa-masa remaja, walaupun saya belum tua. Remaja lewat sedikit. Biar saya mulai pada saat pertama saya beger, sekitar umur 6 tahun. Haha, bohong lah! Baiklah, inilah secarik nostalgia masa remaja, di pesantren. Saya, beger, keren, dan kerempeng.
Sekarang ini jam menunjukkan sekitar jam 01.25. Zaman remaja dulu, biasanya saya masih terjaga, bukan berarti meronda. Tapi masih bangun, begitu maksudnya. Soal waktu sebenarnya tidak teralu penting, sebab, sekarang pun saya masih jadi kalong (baca : kecebong). Sekitar jam-jam ini, biasanya teman begadang saya tinggal beberapa butir saja saat di kamar pesantren dulu. Kalau teman begadang, mungkin aku ini adalah butir teman terakhir buatnya malam itu. Dan malam-malam tiap orang lain begadang. Ya itu tadi, oleh sebab saya ini kalong (baca : kucing nakal).
Adalah seorang teman yang bernama Redi Fauzi. Nama panjangnya Ular. Nama pendeknya...hmm, sebut saja Cacing. Redi ini adalah seorang teman sekaligus guru nyanyi saya waktu itu. Sayangnya, suara saya teralu indah buat Redi, dan suara Redi teralu indah buat saya. Jadi masing-masing sama-sama jelek di telinga masing-masing. Bukankah hidup itu adil?
Suasana pondok di malam tengah, atau tengah malam, selalu sangat tenang. Selalu sangat damai. Selalu sangat tenteram. Sedingin apapun kaki gunungnya, betah adalah kosakata tunggal buat saya. Kecuali kalau sedang ingin kabur. Barulah saya memanjat tembok tinggi, masuk ke hutan, lalu hilang dalam gelap. Ciah.
Di antara suara napas teman-teman yang lain yang sudah tertidur kami biasa bercakap. Ngelantur. Tertawa. Saya tonjok Redi, maksud bercanda. Dia tonjok saya dengan keras. Saya kasih dia biskuit kucing, barulah kita ngobrol lagi. Tahukah, kawan? Dia itu seorang pria kekar pekerja tambak udang yang keras, namun sarat akan cerita-cerita menarik yang sangat seru. Apapun yang ia ceritakan, maka aku duduk di sana, setia mendengarkan. Ia mulai bernyanyi, aku pergi. Khianat sekali aku ini, haha.
Redi, atau Cacing, adalah seorang laki-laki misterius. Sangat. Tak seorangpun mengetahui kapan ia terlahir. Tanggal berapa. Tahun berapa. Kadang, berbicara dengannya seperti berbicara dengan bapak yang bijak (om-om). Ia punya bermacam-macam ilmu hidup yang bermanfaat. Sebentar, kita naik dua baris ke atas. Jika kau bertanya apa pentingnya tanggal lahir itu, maka jawabannya adalah : Itu merupakan hidup matimu, kawan. Redi adalah seorang eksekutor paling kejam yang pernah kutahu. Kau ketahuan tanggal lahirmu olehnya, berdoalah. Karena kamu akan dijagal oleh seorang pekerja tambak bertubuh kekar, disirami air-air hina, ditinggalkan di luar kamar tengah malam dengan aroma surga (baca : SYURga) masih semerbak. Aku adalah korban. Dan orang-orang lain di pondok yang satu angkatan dengannya, juga semua korban.
Dipikir-pikir, kami semua dendam padanya. Ingin kami balas, tapi tak pernah tahu kapan ia muncul ke dunia dulunya. Pernah aku berkhayal, bersekongkol kami seangkatan untuk mengeroyoknya sekaligus biar senang kami membalas kerjaan eksekusinya. Tapi yang muncul di otakku malah adegan Bruce Lee dalam versi Cirebon. Seratus orang pun habis tak bersisa dihajarnya. Sudah mah kekar, jago silat pula. Alamakjang.
Yasudahlah. Toh, dia itu teman yang asyik, seperti iklan rokok euy. Aku sendiri adalah teman yang setia. Yang suka diberi ilmu-ilmu hidup oleh si bos satu itu. Asalkan bukan ilmu tarik suara sih, oke oke saja. Sedikit saja nyanyi, enyah saya ke kamar lain. Itulah Redi. Itulah Ular, atau Cacing pendeknya. Sobat begadang saya yang edan ototnya. Licin otaknya. Sember suaranya, buta nada. Ahaha, maap, Red, bercanda, hehe.
Kawan. Biarpun teman kita sudah tidak lagi hadir di hari-hari kita saat ini, jangan pernah kamu hapus dia dari data-data simpanan. Seperti apapun masanya, walau sedikit, ia telah memberi warna pada hidupmu. Suatu saat, kita butuh warna-warna yang asing untuk kita lihat kembali, dalam keadaan hangat. Dejavu, imajiner, berkhayal liar tentang masa-masa itu, tersenyum sendiri, ketawa sendiri. Jika mungkin nanti akan kau coba saranku ini, biar saya beritahu dulu, deh. Rasanya nikmat, masa lalu itu indah. Kamu gali saja, lalu ajak ngobrol. Lalu ajak bermain. Lalu bernostalgia. Lalu tidurlah dengan tentram.
Arif yang dipanggil Tonji
Kamis, 17 Mei 2012, 02.12
Malam-malam. Sambil begadang.